Trois

Dia tersenyum seperti biasa sambil menerima pesanan gue. Dari beberapa senyuman serupa sebelumnya, gue tahu bahwa ini bukanlah senyuman biasa dari seorang barista toko waralaba kopi ternama terhadap pelanggannya. Dia selalu tersenyum sembari menatap mata ketika mengonfirmasi pesanan.

“Satu Caramel Frappucino?”

“Ya”

“Pakai whipped cream?”

Di Indonesia, anda tidak melakukan kontak mata dengan intens kecuali anda bermaksud lain.

Gue udah hampir 3 bulan menjadi pengunjung reguler kedai kopi di sentral bisnis ini dan sudah lebih dari 10 kali ia menerima pesanan gue yang tidak pernah berubah. Caramel Frappucino. Minuman lucu-lucuan, orang bilang. Tapi karena gue tidak pernah benar-benar menganggap kedai kopi waralaba ini serius, akan ironis jika gue memesan minuman kopi yang serius di sini. Satu-satunya alasan gue sering datang ke tempat ini karena lokasinya strategis dan iPhone gue terlalu sering habis baterenya di tengah jalan.

Ia sudah tahu bahwa gue selalu menolak whipped cream di atas Frappucino gue. Entah kenapa ada orang yang suka minumannya dilengkapi dengan whipped cream. Bagaimana pun yang anda minum itu tetap kopi. Lagipula dalam kasus gue, caramel dan whipped cream akan menjadi kombinasi yang keterlaluan. Sugar galore. Lupakan Slank, gue tidak ingin minuman gue terlalu manis untuk diminum lalu dilupakan.

Berkat kebijakan kedai kopi waralaba tersebut bagi para karyawannya untuk mengenakan tanda pengenal di dada, dari kesempatan pertama gue tahu bahwa namanya adalah Dina. Rambutnya pendek seleher dan belakangan diwarnai cokelat tua. Postur tubuhnya standar perempuan Indonesia dan ia terlihat bugar meski tidak kekar. Wajahnya cerah dengan sorot mata yang tajam. Ia terlihat seperti pribadi yang ceria karena setiapkali bergurau dengan rekan kerjanya, ia selalu terdengar lebih aktif berbicara dibanding saat menerima pesanan pelanggan. Mungkin ia hanya ingin menjaga profesionalitas di meja kasir.

Gue tahu bahwa Dina sadar gue sering memperhatikan dia saat bekerja. Bukan karena genit, tapi memang sudah menjadi kebiasaan gue untuk mengobservasi orang yang gue anggap menarik, terlepas dari gender mereka. Entah yang mana yang duluan - dia membuat kontak mata intens saat menerima pesanan gue atau gue memperhatikan dia dengan seksama yang membuat dia sadar.

Jika sedang beruntung berada di kedai kopi tersebut saat jam istirahat singkat, gue bisa melihat Dina melepaskan celemeknya dan mengambil rehat sejenak untuk minum dan merokok di luar. Ini juga mungkin yang membuat gue senang dengan kedai kopi ini. Mereka sedari dulu tidak mengizinkan pelanggan untuk merokok di dalam kedai mereka, bahkan jauh sebelum peraturan larangan merokok ditegakkan oleh pemerintah daerah. Mereka bilang asap rokok bisa merusak kualitas kopi mereka. Gue tidak percaya alasan mereka itu, paling hanya gimmick semata. Namun karena menguntungkan gue yang bukan perokok ini, gue membiarkan mereka berada di posisi moral yang lebih tinggi.

Saat ia sedang berada di luar untuk rehat, beberapa kali gue menangkap basah Dina dan rekan-rekannya sedang melirik ke arah gue, lalu tertawa beberapa saat kemudian. Dinding kaca yang membatasi membuat gue tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, tapi gue menangkap kemungkinan mereka sedang bergunjing soal gue. 

Gue tidak pernah menghitung ada berapa barista yang dimiliki kedai kopi tersebut, tapi ada 4 barista perempuan di sana. Dina yang paling menarik di antara yang lain karena alasan yang lebih baik tak usah gue tuliskan di sini untuk menghindari tuduhan bahwa gue mendukung konstruksi sosial yang patriarkal soal estetika

Satu kali pernah seorang rekannya tak sengaja mendorong jatuh gelas Frappucino gue dan isinya tumpah di lantai. Dina adalah barista yang posisinya terdekat dengan insiden tersebut, tapi alih-alih menolong rekannya untuk membersihkan, ia hanya berdiri teguh dan memberi tatapan yang seolah berkata, “Sorry, tapi butuh lebih dari sekadar gelas tumpah untuk membuat gue berlutut di depan elo”.

Gestur yang agak pongah, dan sebagai seorang profesional, ia seharusnya membantu rekannya membersihkan lantai, atau setidaknya membuatkan gue Frappucino yang baru. Tapi ia tidak melakukannya. Ia membuat dirinya sibuk dengan urusan lain untuk membuatnya terhindar dari berkomunikasi langsung dengan gue.

Walau begitu, gue selalu punya tempat untuk orang dengan arogansi yang bisa ditolerir. Dunia ini akan sangat membosankan jika dipenuhi dengan orang-orang yang rendah hati. Terlepas dari apa yang Dia khotbahkan di atas bukit, orang-orang yang rendah hati sepertinya tidak selalu berbahagia.

Terakhir kali gue berkunjung ke kedai kopi ini, ada sesuatu yang berubah dari wajah Dina. Alisnya sekarang ditato dan terlihat jauh lebih tebal. Ini adalah sesuatu yang tak akan pernah gue mengerti. Mengapa ada perempuan yang menganggap bahwa mereka akan terlihat lebih menarik jika mereka mencukur alis mereka dan menggantinya dengan sesuatu yang hanya pantas terlihat pada pernikahan adat Jawa?

Sejujurnya sekarang Dina tidak terlihat secantik dulu. Dua goresan alis jejadian di atas matanya membuatnya dirinya terlihat berbeda dan bukan ke arah yang lebih baik. Namun tentu saja penilaian gue akan dia tidak serta merta berubah dan membuat dirinya menjadi seseorang yang ingin gue jauhi. Gue hanya berharap bahwa keputusannya untuk menato alisnya berasal dari keinginannya sendiri, bukan karena takluk pada pemahaman universal rekan-rekan sepermainannya bahwa tato alis lebih baik dari alis natural.

Karena dia berubah, gue pikir kali ini gue akan mencoba sesuatu yang berbeda. Siapa tahu hasilnya akan seru.

Jadi ketika Dina bertanya, “Pakai whipped cream?”

Gue menjawab, “Yes, please”.

Dina bertugas di kasir kala itu dan saat sedang jam ramai, biasanya akan ada barista lain yang khusus membuatkan minuman sehingga yang bertugas di kasir bisa fokus untuk menerima pesanan saja. Tapi usai gue membayar pesanan gue, Dina meminta temannya untuk menggantikanya di kasir. Lalu ia menuju ke mesin kopi untuk membuatkan Frappucino gue, lalu menyemprotkan whipped cream di atasnya sebelum melengkapinya dengan sirup caramel.

“Satu grande caramel Frappucino,” ujarnya dengan suara seadanya namun sambil tersenyum saat meletakkan gelas plastik berukuran sedang yang diselimuti dengan selembar tisu.

Dina dan gue terlibat dalam kontak mata sekali lagi ketika gue mengambil pesanan gue tersebut. Tak ada yang gue ucapkan selain “thank you” yang sederhana.

Baru ketika duduk di meja, gue sadar bahwa kali ini memang ada sesuatu yang berbeda.

Di tisu yang membalut gelas tersebut, tertulis sederet angka yang diakhir dengan emoticon senyum. Nomor telepon, tentu saja.

Gue menahan diri untuk tidak tersenyum sekalipun, meski di dalam hati berteriak riuh rendah.

***

Keesokan harinya, Dina pulang dari apartemen gue buru-buru sekali. Belum jam 7 pagi ketika ia mengucap selamat tinggal di depan pintu. Ia bilang ia punya urusan yang harus diselesaikan buru-buru. Tadinya gue kira ia akan tinggal lebih lama, paling tidak sampai sarapan dulu. Tapi ya sudahlah.

Situasi seperti ini memang selalu membuat canggung. Apa yang harus dilakukan ketika pagi menjelang? Anda tak akan mau terlalu berjarak dengannya karena itu akan membuatnya merasa tidak diinginkan dan hanya menjadi objek yang tertaklukkan semata. Tapi anda juga tak mau menghujaninya dengan afeksi untuk menghindari salah sangka. Harusnya semua terasa kasual dan sederhana,

“Jangan pernah bilang Thank You”, begitu nasehat dari majalah-majalah pria pretensius. “Anda akan terkesan sebagai pengguna jasa”.

Gue rasa ini bullshit. Kalau anda baru saja mengalami malam yang menyenangkan, gue tidak mengerti mengapa gue harus menghindari mengucapkan terima kasih. Jika malam tersebut didasarkan pada sesuatu yang mutual, maka rasa terima kasih harusnya juga menjadi sesuatu yang dirasakan secara mutual. Tak ada hubungannya dengan mempersepsikan masing-masing pelaku dalam posisi provider atau user. Masing-masing adalah provider bagi orang yang satunya lagi dan berterima kasih seharusnya tidak membuat siapa pun tersinggung.

Untungnya Dina punya pemahaman yang sama. Gue bilang “thank you” sebelum mengucap “goodbye”, demikian juga dengannya. Tidak ada yang harus terlalu dipusingkan.

Satu-satunya yang membuat gue sebal pagi itu adalah karena gue terbangun jauh lebih dari awal dari jam biasanya. Biasanya gue bangun jam 10 pagi. Terjaga sebelum jam 7 adalah sebuah pengkhianatan terhadap konstitusi. Gue selalu sulit untuk tidur lagi jika sudah terbangun. Kutukan yang tak akan pernah gue hapus.

Gue meraih HP di meja sebelah tempat tidur dan melihat ada 15 missed call dari nomor yang sama. Jantung gue mendadak langsung berdetak lebih kencang dari biasanya. Semoga bukan kabar duka soal sanak saudara atau kawan yang meninggal dunia.

Ritme jantung kembali normal ketika melihat dari siapa hujan missed call semalam. Keira adalah seorang teman lama dan partner ngobrol yang seru. Kami sudah lama tidak bertemu, mungkin hampir setengah tahun. Keira dan gue tidak pernah terlibat dalam sebuah hubungan romantik, tapi terkadang kami menghabiskan malam bersama jika sedang ingin. Ada istilah khusus untuk hubungan pertemanan seperti ini, tapi gue tak akan menuliskannya. Menggelikan. Biasanya Keira sering menelepon tengah malam jika sedang mabuk, entah sekadar untuk mengajak ngobrol atau menanyakan jika ia bisa datang ke apartemen gue. Mungkin tadi malam hal serupa yang terulang, meski 15 missed call agak terlalu banyak.

Selain rentetan panggilan tak terjawab, Dina mengirimkan 2 SMS pada jam 23.37 dan jam 05.51. “Kenapa SMS?”, pikir gue, “Kenapa bukan Whatsapp?”. Gue tidak memperhatikan rentang waktu yang jauh antara 2 SMS tersebut.

SMS pertama berisi: “Trois, are you busy?”

SMS berikutnya berbunyi: “Trois, i need to see you. Call me back asap”.

Gue langsung curiga Keira sedang berada dalam posisi yang membuatnya butuh bantuan. Karena SMS dari lawan jenis jelang tengah malam berbunyi “Are you busy” adalah ciri-ciri booty call. Tapi tidak ada booty call pada jam 6 pagi.

Otak gue langsung mengira-ngira apa yang sedang terjadi pada Keira. Hal pertama yang langsung gue pikirkan adalah karena terakhir gue bertemu dia 6 bulan lalu, jika tadi malam ia baru saja menggunakan test pack dan mendapati dirinya mengandung, jelas gue bukan ayah dari bayinya. Thank God.

Setelah meyakinkan diri bahwa seandainya Keira hamil dan peluang gue adalah ayah bayinya sama dengan nol, dengan segera gue memencet tombol “call” pada nomor Keira. Tak lama terdengar suara di sana dan suaranya tak terdengar cemas, malah cenderung manja.

“Hey Trois, kemana aja? Semalam aku telpon-telpon”.

“Hai Keira, gue udah tidur semalam. Please tell me, you’re not pregnant, are you?”

“Haha, nggaklah”

“Thank fuck, you’re not pregnant. Terus, ada apaan semalam?”

“Hmm…Gue nggak tahu apakah gue harus ngomong ini di telepon atau ketemu langsung, tapi gue bilang aja sekarang. I’m getting married next week.”

Keira mau menikah. Gue gak tahu apa yang harus gue bilang atau apa yang harus gue rasakan. Tapi gue gak punya hal lain untuk diucapkan selain apa yang sewajarnya dikatakan kepada teman yang mau menikah.

“Wah, selamat ya, Kei. Gue udah lama gak ketemu elo, sekarang udah mau nikah aja.”

“Thanks ya, Trois…….”

Gue gak tahu apakah mendengar Keira akan menikah lebih baik dari mendengar ia hamil. Tapi satu hal yang masih tanda tanya di sini, mengapa untuk memberitahu soal rencana pernikahan ia harus menelepon sampai 15 kali dan pada tengah pula?

“Oh, jadi semalam elo telepon mau bilang itu?”

“Hmm….sebenernya nggak sih, Trois. Ada yang lain yang mau gue bilang…..”

Oh fuck, apalagi ini. Semoga bukan kabar kalau selama 6 bulan gue gak ketemu dia ini ternyata dia melahirkan anak yang dia pikir anak gue dan sekarang dia menuntut gue tanggung jawab.

“Ya, bilang aja, Kei.”

“Before i get married next week, i wish to spend a night with you. Is it possible?”

Ha. Sebelum nikah mau menghabiskan satu malam sama gue. Sukar dipercaya. Gue mau bilang nggak, tapi lalu gue teringat berbagai malam seru bersama Keira, plus beberapa percakapan dengannya yang membuat hubungan gue dengan dia tidak berdasarkan hasrat kedagingan semata.

“Hmm….”, gue masih belum bisa menjawab.

“My place tonight, Trois?”

Nggak, Trois, nggak. Dont you say yes, you moron. Pikir pakai kepala, bukan pakai kelamin.

“Yes, why not?”

“See you tonight, Trois”.

Gue tahu bahwa jawaban gue didasarkan pemikiran oleh kepala, bukan yang lain.

***

Ada sedikit perubahan rencana sore itu. Karena ia ada meeting mendadak dan sedang tidak bawah mobil, ia meminta gue untuk menunggunya di mana pun yang nyaman bagi gue untuk menantinya datang. Gue bilang gue akan menunggu dia di kedai kopi waralaba langganan - tempatnya Dina.

Selama gue menunggu dia datang, pikiran gue melayang kemana-mana, merunut satu persatu momen yang gue lalui bersama Keira yang pertama gue kenal 5 tahun yang lalu.

Keira adalah seorang perempuan yang akan dikategorikan cantik menurut standar berbagai jenis orang. Tubuhnya ramping dan dagunya tirus. Tulang pipinya bagus dan tanpa make-up pun sudah menjadi bagian yang paling menarik perhatian dari wajahnya, Rambutnya lurus di bawah leher dan ketika ia men-cepol rambutnya yang membuat lehernya terekspos, menurut gue ia terlihat sangat prima dan berbahaya.

Penampilannya yang atraktif itu menopang dengan karirnya sebagai penyanyi. Betul, penyanyi seharusnya dinilai berdasar suaranya dan bukan karena faktor lain. Tapi penyanyi yang penampilan dan suaranya sama eloknya akan jadi tak terkalahkan. Ia adalah kombinasi yang sempurna untuk keindahan audio dan visual.

Keira adalah penyanyi, tapi bukan penyanyi biasa, paling tidak bukan masuk dalam pengertian “penyanyi” menurut orang banyak. Ia menjadi vokalis sebuah band indie, namun tak terlalu ngotot ingin punya album untuk dirilis massal. Lagu-lagu yang ia rekam bersama bandnya kerap dinilai industri tidak menjual karena terlalu panjang dan tidak radio-friendly. Namun ia tidak peduli karena baginya menyanyi adalah hiburan personal. Ia tak terlalu peduli apa kata orang.

Beruntung karena ia pun mendapatkan rekan-rekan satu band yang filosofi bermusiknya sama. Mereka tak ngoyo ingin “menembus industri rekaman”. Kesamaan visi ini dimungkinkan karena tak satu pun dari anggota bandnya Keira yang berjumlah 5 orang itu murni hidup dari bermusik. Kebanyakan dari mereka bekerja di agency iklan. Keira sendiri adalah seorang kurator di galeri seni. Ia sudah terbiasa melihat sesuatu yang tidak bisa diapresiasi oleh masyarakat luas.

Sekali dua kali Keira dan bandnya manggung di kafe dan membawakan lagu-lagu Top 40 sambil menerima request dari pengunjung. Keira bilang ia melakukan ini jika sedang butuh suasana baru. Rekan-rekan bandnya pun mengamini. Tapi ia juga bilang tak ingin terlalu sering tampil di kafe dan memenuhi request pelanggan. “Kalau seringan, gue bisa ngerasa jadi pelacur seni”, ucapnya.

Gue pertama kali bertemu dengan Keira di galeri seni tempatnya bekerja. Waktu itu gue pikir dia hanya pengunjung biasa karena walau mencuri perhatian karena jelita, busana yang ia kenakan terlalu biasa untuk ukuran kurator galeri seni. Ya, biasanya mereka yang bekerja di dunia seni, terlebih seni tingkat tinggi, ingin terlihat seunik mungkin. Entah rambut awut-awutan, potongan baju yang tak wajar, atau berbagai pernak-pernik yang akan membuat anda gampang dibedakan dari kejauhan. Bagi kebanyakan pekerja seni, baju yang mereka kenakan adalah name-tag profesi mereka.

Yang ia kenakan waktu itu adalah sebuah blouse longgar dengan panjang baju di bawah pinggang dengan syal tergantung di leher. Ia mungkin adalah kurator seni dengan busana paling normal yang pernah gue temui. 

Dari beberapa pertemuan pertama gue dengannya, Keira mengenakan baju yang berbeda-beda, namun potongannya selalu sama. Selalu agak longgar, tidak pernah cukup ketat untuk memperlihatkan lekuk tubuhnya. Ia selalu mempadupadankan bajunya dengan skinny jeans atau khaki dan dari kakinya, gue langsung bisa berasumsi bahwa Keira memiliki tubuh yang fit.

Lalu mengapa Keira, tidak seperti perempuan lain yang gue kenal, tidak ingin memakai baju yang sedikit lebih ketat? Apakah ia religius? Ah tak mungkin. Atau jangan-jangan bentuk tubuhnya tidak ideal di mana upper-bodynya jauh lebih gemuk dibanding lower-body yang membuatnya terlihat tidak proporsional?

Baru setelah malam pertama di tempatnya, gue tahu mengapa Keira selalu pakai baju longgar di tempat umum. Ukuran dadanya membuat hampir semua pria normal tak akan kuasa untuk tak melayangkan pandangan ke arahnya dan karena ia sering bepergian naik kendaraan umum, ia berusaha meminimalisir hal-hal yang membuatnya tidak nyaman.

“Males gue dilihatin sama mas-mas ganjen di jalan. Belum lagi kalau ketemu yang rese”, kata Keira.

Gue tidak tahu mengapa laki-laki selalu tertarik pada payudara perempuan, tapi sepertinya Sigmund Freud punya penjelasan soal hal ini.

Dari pertama gue kenal Keira, dia selalu punya pacar. Gue juga tidak pernah membayangkan gue akan terlibat hubungan yang lebih formal dengan Keira dari sekadar teman di malam-malam penuh alkohol. Kami hanya senang ngobrol dengan satu sama lain, berbagi pandangan soal banyak hal. Jika ada sesuatu yang terjadi sesudahnya, kami menganggapnya alamiah. Beberapa kali Keira terlibat pertengkaran dengan pacarnya, ia meminta untuk bermalam di apartemen gue.

Sekarang ia ingin menikah. Gue masih gak tahu harus merasa apa. Sebal, ya mungkin sekarang gue sebal karena gue akan kehilangan teman berbagi hasrat dan alkohol. Setelah berbulan-bulan tak bersua, sekarang kami akan bertemu hanya karena ia akan berkomitmen secara legal dan spiritual kepada pria lain pekan depan.

Lalu pikiran gue semakin liar dan mengapungkan hal yang macam-macam. 

Kenapa sebelum ia menikah, ia ingin menghabiskan semalam sama gue? Apa karena ia sebegitu sukanya sama gue? Apa karena sudah lama tak bertemu? Apa karena sesudah pekan depan ia tak akan lagi bisa menghabiskan malam bersama gue?

Di sela-sela kontemplasi tersebut, tiba-tiba terdengar suara yang familiar.

“Ini caramel Frappucino lagi. Complimentary. Gak usah bayar”.

Dina datang ke meja gue dan meletakkan minuman tersebut sebelum duduk di kursi depan.

“Memang lo boleh duduk sama customer?”, tanya gue.

“Boleh aja kalau lagi break. Lagi ngapain di sini? Biasanya kerja”, tanya Dina yang menyadari bahwa gue sedang tidak membawa laptop seperti biasa.

“Lagi nunggu teman, janjian di sini”.

Selama 10 menit berikutnya kami terlihat dalam percakapan yang cukup hangat meski tak sekalipun kami menyinggung tentang apa yang terjadi malam sebelumnya. Lalu Dina kembali bekerja karena shiftnya masih tersisa beberapa jam.

Obrolan Dina dan gue sore itu jauh lebih akrab dari yang biasanya terjadi pada mereka yang baru menghabiskan malam bersama untuk pertama kalinya. Gue ingat usai kali pertama bersama Keira, kami tak berbicara satu sama lain selama 2 bulan ke depan. The awkwardness was just too intense. Kami tak tahu harus bersikap seperti apa. Gue tidak tahu dari sisi dia, tapi itu adalah hubungan kasual pertama yang gue jalani. Rasanya sangat aneh. Menyesal? Tentu tidak, tapi rasanya luar biasa canggung. Baru saat kami tak sengaja bertemu di sebuah acara seni pembicaraan kembali terjadi dan mengalir. Yang berikutnya terjadi jauh lebih menyenangkan.

Sekarang ia ingin gue bermalam di tempatnya untuk terakhir kalinya. Apa ini tidak akan membuat suasana jadi awkward nanti? Apa yang akan kami bicarakan sebelum kami memulainya? Apa yang akan ia katakan sesudahnya?

Apa ia akan bilang, “Oh Trois, i like you very much and i’m glad you’re here because next week i cant do this anymore”?

Fuck that. I dont want to hear that.

Gue mengambil HP dan mengirim SMS kepadanya.

“Keira, sorry i cant do this. I’m leaving. Good luck for the wedding. Wish you all the best”.

Gue beranjak pergi dari meja gue dan hendak meninggalkan kedai kopi tersebut, tapi tidak sebelum gue kembali ke kasir dan memesan.

“Hai Dina, saya mau satu lagi Caramel Frappucino, pakai whipped cream, kaya kemarin”.

Dina menatap mata gue dan tersenyum.