Addendum: Partai-Partai Politik Harus Berhenti Minum-Minum dan Mulai Menyadarkan Diri
Ini adalah terjemahan Bahasa Indonesia. Artikel asli ditulis dalam Bahasa Inggris dan bisa dibaca di sini
Ada dua pasang calon independen pada Pilkada 2012 di DKI Jakarta dan tidak ada yang terlalu merisaukan mereka. Alasannya cukup jelas: para calon indie ini tidak punya peluang besar. Diperbolehkannya kandidat independen untuk ikut Pilkada ketika itu dianggap sebagai sebuah indikator demokrasi yang sehat, tapi tidak lebih. Semua orang bisa bertarung di Pilkada dengan modal dukungan masyarakat yang cukup. Kemapanan (The Establishment) nampak tidak terlalu peduli dengan para calon indie ini karena mereka tahu bahwa mesin politik raksasa mereka akan melibas dengan mudah.
Beberapa isu diangkat mengenai para calon independen ini, terlebih soal bagaimana mereka akan memerintah nanti tanpa dukungan dari partai politik di DPRD, namun tidak ada yang mempertanyakan soal keabsahan calon independen bertarung di Pilkada. Tidak ada yang meributkan masalah deparpolisasi. Partai-partai politik yang sudah mapan mendominasi lanskap demokrasi sejak awal berdirinya republik dan tidak ada yang melihat peluang calon independen untuk mengganggu norma tersebut.
Hasil Pilkada 2012 di Jakarta menunjukkan dengan jelas kekuatan partai politik dibanding calon independen. Dari 6 pasang calon, kandidat-kandidat independen hanya bisa meraih suara ke-4 dan ke-6 terbanyak ketika Jokowi-Ahok melaju menjadi DKI 1. Namun ada secercah hiburan bagi calon independen saat Faisal Basri - Biem Benyamin meraih suara lebih banyak dibanding calon dari Golkar, Alex Nurdin - Nono Sampono. Sudah banyak analisa yang mengatakan bahwa mesin Golkar tidak berfungsi selicin biasanya, tapi bagi kandidat yang bergantung pada relawan dan donasi publik seperti Faisal Basri, finis di atas Beringin tetap impresif.
Fakta bahwa kandidat dari partai politik bisa dikalahkan oleh pasangan independen di Jakarta 5 tahun lalu seharusnya dilihat sebagai preseden bahwa dengan pendanaan dan penggalangan massa yang benar, calon independen mempunyai peluang untuk melakukan sesuatu yang lebih besar di masa depan. Lagipula, di luar Jakarta beberapa pasang calon independen telah memenangkan Pilkada. Salah satu yang terkemuka adalah ketika Irwandi Yusuf memenangkan Pilgub Aceh.
Partai-partai politik baru kebakaran jenggot ketika Ahok mendeklarasikan ia akan mencalonkan diri secara independen pada Pilkada 2017. Alasan mereka kepanasan jelas: sekarang calon independen punya peluang besar. Dengan popularitas dan elektabilitas Ahok, wajar jika partai-partai politik merasa terancam. Situasi ini diperburuk dengan kenyataan bahwa parpol-parpol ini tidak punya kandidat yang cukup kuat untuk menantang Ahok.
Kecemasan dari partai politik bisa jadi lebih besar dari sekadar menang-kalah dalam Pilkada (Parpol sudah terbiasa menang kalah dalam kontes politik). Kecemasan ini bisa jadi bahwa cela terbesar dari partai politik dewasa ini terpampang jelas: publik tidak merasa bahwa aspirasi dan kepentingan mereka terwakili dan mulai mencoba untuk melakukan bypass terhadap partai politik.
Selama ini kita tahu bahwa partai politik adalah sebuah kebutuhan absolut dalam demokrasi. Bagaimana jika norma fundamental ini mulai dipertanyakan jika calon independen bisa memenangkan Pilkada DKI tanpa dukungan partai politik? Jika hal ini ini terjadi, masyarakat akan mulai memberi tanda tanya besar pada eksistensi partai politik.
Ini adalah kecemasan yang sahih bagi Kemapanan, namun daripada mencoba melakukan delegitimasi kepada calon independen, partai politik seharusnya mulai melihat diri mereka sendiri. Ini adalah saat yang tepat untuk refleksi.
Mari terima kenyataan bahwa publik tidak percaya partai politik. Dalam skenario terbaik, publik skeptis. Skenario terburuk, publik merasa bahwa apa pun yang keluar dari partai politik adalah omong kosong. Kecuali anda anggota terdaftar partai politik, sulit untuk mencari orang yang hakul yakin aspirasinya sepenuhnya diperjuangkan oleh parpol. Partai politik telah gagal untuk meletakkan diri mereka sebagai representasi yang sebenar-benarnya dari masyarakat. Akses informasi yang bebas memberikan publik kesempatan untuk mengobservasi perilaku partai politik dan mereka tidak suka dengan apa yang mereka lihat. Antusiasme yang lebih besar saat Pilpres dibanding Pileg 2014 menunjukkan bahwa publik lebih mudah mengidentifikasi figur individu dibanding institusi partai.
Naiknya Ahok sebagai calon independen yang punya peluang seharusnya menjadi tamparan bagi partai politik untuk membenahi diri. Tidak ada garansi bahwa Ahok akan memenangi Pilkada, tapi dari bagaimana reaksi parpol-parpol sejauh ini, kita bisa melihat bahwa ada rasa takut dari Kemapanan. Kenyataan bahwa parpol cemas dikalahkan oleh calon independen menunjukkan dengan sendirinya betapa besar kekacauan yang mereka miliki.
Partai-partai politik besar adalah raksasa. Titan. Mereka punya massa, pendanaan masif, dan struktur organisasi. Mereka adalah institusi dengan kompleksitas hingga ke komponen terkecil yang bisa melakukan hal-hal yang tak terpikirkan dalam level individu. Ada alasan mengapa mereka disebut “mesin politik” karena dari cara parpol bekerja, sesungguhnya mereka memang sebuah mesin. Calon-calon independen tak akan bisa mengusik partai politik jika partai politik tidak bertingkah aneh-aneh yang membuat masyarakat ilfil.
Walau kandidat independen yang berpeluang seperti Ahok adalah perkembangan positif dan wake-up call yang dibutuhkan, saya selalu percaya bahwa demokrasi sejati membutuhkan partai politik sejati yang memperjuangkan kepentingan rakyat, bukan hanya sekadar memenuhi rasa haus berkuasa bagi para pengurusnya. I believe in organising and empowering - the trait of a political party.
Bagaimana pun perkembangan menuju Pilkada 2017 nanti, parpol harus mulai berhenti taking people for granted.
Jika kandidat independen yang kuat seperti Ahok adalah sesuatu yang dibutuhkan untuk menyadarkan parpol dari mabuk kekuasaan, so be it.