Dont Take Anything for Granted

Manchester, musim panas 2015. Malam itu di sebuah bar saya menemani seorang kawan berbuka puasa. Tempat yang aneh memang untuk berbuka puasa, namun Ia mengatakan bahwa karena sudah larut malam, tak ada lagi tempat makan yang tersedia untuk nongkrong. Saya pikir terserah dia saja kalau mau ke bar. Sesampai di sana, saya juga tak banyak berkomentar ketika dia memesan pizza pepperoni. Terserah dia saja.

Sebenarnya malam itu tak akan menempati tempat istimewa di memori jika bukan karena percakapan yang terjadi berikutnya. Tak lama, seorang Amerika duduk di sebelah saya. Rupanya kawan saya mengenalinya sebagai teman satu kampus namun dari jurusan ilmu politik. Saya lupa siapa nama si Amerika ini tapi saya ingat betul Ia dari Staten Island, New York.

“Wu Tang Clan!”, seru saya. 

Si Amerika senyum-senyum karena di sebuah warung di utara Inggris Ia mendapati dirinya bertemu dengan orang Asia yang menggandrungi orkes gambus dari kampungnya.

Percakapan beranjak ke urusan politik. Tahun itu adalah tahun terakhir Barack Obama sebagai presiden dan dunia menunggu siapa yang akan jadi penerusnya. Meski Bernie Sanders kelak muncul sebagai kuda hitam (sesuatu yang diulangi Senator Vermont itu di tahun 2020 ini), konsensus menganggap bahwa Hillary Clinton akan menjadi presiden Amerika Serikat berikut.

“It’s not even a contest, man! Percaya sama saya. Hillary akan menang. Republikan tidak punya calon yang bagus buat menantang Hillary”, ujar si Amerika dengan intonasi dan mimik muka meyakinkan yang saya tidak akan lupa sampai sekarang.

Harus digarisbawahi bahwa waktu itu primary Partai Republik baru akan dimulai dan jagoan-jagoannya adalah Jeb Bush, Ted Cruz, dan Marco Rubio. Tidak ada yang menganggap serius Donald Trump.

“Cruz dan Rubio itu badut. Jeb Bush? Kayanya Amerika tidak ingin punya presiden Bush yang ketiga”, lanjut si Staten Islander.

Nama Donald Trump tidak muncul di percakapan kami hingga menjelang akhir. Ketika akhirnya nama Trump tersebut, dia hanya tertawa cekikikan.

“No chance, man. He’s a joke”.

***

Setiap kali saya melihat Trump, bayang-bayang percakapan di atas selalu muncul. Tentu saja sudah banyak analisis mendalam soal bagaimana Trump menunggangi keresahan kaum konservatif dan kelas pekerja kulit putih Amerika untuk membawa dirinya ke Gedung Putih, diperparah dengan kubu Demokrat yang terlalu percaya diri akan menang. Saya tidak tertarik untuk mengulanginya di sini.

Namun yang selalu mengusik adalah peristiwa tersebut memberikan pelajaran mahal untuk jangan pernah menganggap semua akan baik-baik saja dengan sendirinya. Pelajaran ini tidak terbatas pada urusan politik saja, tapi dalam konteks kehidupan yang lebih luas dan umum.

Selama ini plot dramaturgi heroik di ruang hiburan publik selalu dipenuhi dengan narasi bahwa kebaikan pasti akan menang. Sejarah dunia dipenuhi dengan berbagai kisah di mana, bukan hanya kebaikan belum tentu menang, tak jarang ditemui kebaikan jadi pecundang abadi. Lagipula bisa muncu persoalan baru, kebaikan itu baik menurut siapa?

Betul bahwa setiap pihak punya kepentingan sendiri-sendiri. Tapi rasanya nilai-nilai kebajikan itu berlaku universal. Nilai-nilai seperti kesejahteraan, kejujuran, integritas, akuntabilitas, dan lain-lain. Saya rasa kita semua sepakat bahwa nilai-nilai ini kita anggap adalah nilai yang baik.

Maka menjadi sangat ironis ketika selama ini kita percaya bahwa yang baik pasti akan menang dan kita semua tahu nilai-nilai yang baik, namun ternyata hasil akhir membuktikan sebaliknya.

Sama seperti sebagian warga Amerika yang terpaksa introspeksi diri usai memiliki presiden seperti Trump, sering kali setiap sesuatu yang buruk terjadi pada pihak-pihak yang menjunjung tinggi nilai kebajikan, muncul pertanyaan: apa yang salah? Apa kita kurang baik? Atau sebenarnya tidak penting untuk menjadi baik?

Memang tidak mudah untuk melihat realita jika kita menengoknya dari posisi moral yang kita anggap lebih tinggi. Kadang kita perlu turun sejenak. 

Nye Bevan pernah mengatakan bahwa dirinya tidak pernah menganggap politik itu adalah arena pertarungan moral melainkan pertarungan kepentingan. Menarik, karena Nye Bevan adalah pendiri NHS, BPJS-nya UK yang dianggap salah satu sistem jaminan kesehatan terbaik di dunia. Sistem jaminan kesehatan tentu saja adalah sesuatu yang mulia dari perspektif moral tapi untuk menggolkannya, Bevan bilang itu tidak ada urusan dengan moral.

Jika saya terdengar Machiavellian dan membuat anda takut, percayalah bahwa saya tidak sedang mengadvokasi anda untuk menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan hidup.

Justru, jika anda punya cita-cita, maka anda harus mencari jalan terbaik karena tidak ada yang namanya “sudah dari sononya”. Kadang mungkin jalannya bukan yang paling ideal, tapi sebagai seseorang yang berorientasi pada hasil, saya selalu lebih peduli pada skor akhir dan bukan ball possession.

Usai Labour Party dibantai Tory di Pemilu Inggris terakhir, Jeremy Corbyn membela diri di depan media dan mengatakan, “….tapi janji platform kampanye kami populer di mata pemilih…”

Saya senang dengan Corbyn, tapi tolong jangan jadi seperti dia.

Seperti sepakbola, dalam partai eliminasi, hanya ada menang atau kalah. 

Tidak ada piala untuk tim yang kalah tapi bermain cantik.

This writing was first published on Asumsi 5.45 newsletter, Oct 2 2020