Tidak Semua Orang Memulai Dari Titik Yang Sama

Salah satu dusta terbesar yang pernah diciptakan sebagai justifikasi ketidakadilan sosial adalah semua orang memulai dari titik mula yang sama dan memiliki modal yang sama. Sehingga jika muncul kegagalan atau rintangan lain yang memberatkan, maka mereka yang tak sampai ke tujuan semata dikarenakan mereka kurang berusaha dengan keras.

 

Tidak hanya pemikiran tersebut salah besar karena melepaskan individu dari berbagai atribut yang melekat padanya (sosial, ekonomi, dan lain-lain), tapi juga tesis tersebut berupaya untuk melihat situasi sekarang (present situation) sebagai sebuah kejadian eksklusif yang terpisah dari garis sejarah secara keseluruhan sehingga semua peristiwa dan pergulatan yang terjadi di masa lalu yang berujung ke hari ini dianggap tidak relevan.

 

Tatanan sosial masyarakat dari peradaban mula-mula hingga peradaban digital seperti sekarang ini selalu menghasilkan dinamika dan interaksi yang beragam antar individu. Ketika individu-individu dengan atribut yang serupa berinteraksi dengan individu-individu lain dengan atribut yang serupa juga, maka yang terjadi adalah interaksi antar kelas.

 

Seberapa berusahanya pun beberapa orang untuk meyakinkan anda bahwa tidak ada pembagian kelas dalam masyarakat dan bahwasanya semua orang relatif sama sebangun, anda hanya perlu untuk melihat ke dalam diri anda dan sekeliling anda untuk melihat anda tergolong masuk ke kelas mana.

 

Berapa penghasilan anda sekarang? 

 

Dulu anda sekolah di mana?

 

Berapa penghasilan orang tua anda?

 

Apa pekerjaan orang tua anda?

 

Apa pekerjaan orang tua-nya orang tua anda?

 

Seberapa berpengaruh situasi sosio-ekonomi keluarga anda dulu dalam membentuk kehidupan anda sekarang?

 

 

Beberapa orang dengan kacamata kuda akan mencoba untuk meyakinkan anda bahwa semua hal di atas tidak relevan karena pada akhirnya yang menentukan adalah usaha diri anda sendiri. Kesengajaan untuk menitikberatkan pemikiran pada usaha individu adalah upaya untuk menegasikan berbagai atribut yang sudah melekat sejak individu tersebut dilahirkan.

 

Menyangkal pengaruh atribut sosio-ekonomi pada individu adalah menyangkal jalannya roda sejarah.

 

Roda sejarah menyebabkan segelintir orang lahir dengan sendok perak di mulutnya.

 

Roda sejarah pula yang menyebabkan beberapa gelintir orang lain lahir dengan onak duri di sekelilingnya.

 

Jika kehidupan anda lebih baik dari mayoritas orang lain karena anda dilahirkan dengan situasi tersebut, apakah anda menganggap bahwa lotere kehidupan yang anda menangkan datang begitu saja dan orang lain yang tidak dilahirkan dalam keadaan serupa hanya kurang beruntung semata?

 

Karena jika faktor tersebut hanya didasarkan pada faktor beruntung/sial, maka tesis bahwa semua orang memulai dari start yang sama dengan sendiri telah dinegasikan.

 

Pula serupa jika keadaan start kehidupan individu yang lebih baik, yang dipengaruhi kondisi sosio-ekonomi keluarga, diyakini adalah buah usaha dari entitas yang melahirkan individu (orang tua) dan ketidakberuntungan keadaan start seorang individu adalah buah dari kurang kerja kerasnya keluarga yang melahirkan individu tersebut. Hal ini menegasikan tesis bahwa hanya usaha seorang individu yang akan menentukan hidupnya karena sebelum Ia dilahirkan, individu lain (keluarga) turut menentukan posisi hidupnya. Ia tidak berkuasa atas dirinya sendiri untuk di titik mula.

 

Benar, semua orang memulai hidupnya dari titik nol.

 

Tapi titik nol semua orang berbeda-beda.

 

Jika kehidupan adalah sebuah gunung, maka titik nol awal pendakian bagi semua orang beragam.

 

Ada yang harus memulainya dari kaki gunung. Ada bisa naik mobil hingga ke tengah. Ada yang bahkan bisa naik helikopter sampai titik maksimal sebelum harus berjalan kaki untuk mencapai puncak.

 

Namun bagi sebagian orang lain, ada juga yang bahwa perlu usaha lebih untuk hanya sekadar mencapai kaki gunung. Beberapa bahkan tak sanggup untuk memulai pendakian.

 

Perkaranya adalah ketika ketidakadilan sosial dibicarakan, sering kali perdebatan tidak bersentral pada isu dan fenomena, tapi pada pembawa pesan.

 

Ketika orang yang tergolong tidak sejahtera bicara mengenai ketidakadilan sosial, maka para pencibir akan mengatakan orang tersebut hanya getir karena kurang berusaha.

 

Ketika orang yang tergolong sejahtera bicara mengenai ketidakadilan sosial, maka para pencibir akan mengatakan bahwa orang tersebut sok peduli, pretentious, dan lain sebagainya.

 

Sebagai orang yang percaya betul dengan republik ini dan nilai-nilainya, rasanya memang perlu untuk mengklaim ulang Keadilan Sosial sebagai sebuah cita-cita yang diperjuangkan bagi seluruh rakyat Indonesia. Bukan perkara trivial dan kosmetik semata. Bukan cuma sekadar sirkus kata-kata dan masturbasi argumen di media sosial. Tapi sebagai cita-cita dan jalan untuk mencapainya.

 

Mungkin tak akan pernah tercapai, tapi sebagai cita-cita, tak ada yang boleh melarang siapa pun untuk mencoba menggapainya.