Yang Normal dan Ekstrem Dalam Politik Jendela Overton di Pilkada DKI
Tidak perlu menjadi ahli untuk mengamati bahwa sejak dalam masa pencalonan sebagai presiden pun Donald Trump telah mengemukakan beberapa wacana yang radikal dan kontroversial. Dari mulai rencana untuk membangun tembok di perbatasan dengan Mexico dan meminta pemerintah Mexico untuk mendanainya hingga keinginannya untuk menghapus Obamacare yang menjadi salah satu pokok utama janji kampanyenya.
Sampai saat ini kedua wacana kontroversial tersebut belum menjadi kenyataan. Konstruksi tembok besar Trump belum juga dimulai dan tentu saja presiden Meksiko menolak mentah-mentah mengeluarkan sepeser uang pun untuk mendanai salah satu program Trump tersebut. Janji Trump untuk menghapus Obamacare pun menemui jalan buntu setelah sebagian anggota partainya sendiri, Partai Republik, berontak dan menolak untuk mendukung undang-undang jaminan sosial yang baru untuk mengganti Obamacare.
Sejauh ini berbagai langkah radikal Trump selalu menemui ganjalan. Bahkan larangan bagi warga dari beberapa negara Islam untuk datang ke tanah Amerika Serikat pun mendapatkan halangan setelah putusan pengadilan federal menilai bahwa larangan tersebut inkonstitusional.
Walau begitu, jelas bahwa Trump telah sukses menggeser politik Amerika Serikat jauh ke kanan. Apa yang tadinya dianggap radikal dan tidak masuk akal cenderung dianggap normal di era sekarang. Banyak analis politik yang menggunakan Jendela Overton (The Overton Window) untuk menjelaskan apa yang dilakukan Trump.
Konsep ini pertama kali dicetuskan oleh Joseph Overton, seorang ilmuwan politik libertarian yang menganggap bahwa dalam setiap isu politik, selalu ada spektrum solusi dan kebijakan yang dianggap normal dan mainstream. Ini yang ia sebut sebagai Jendela Overton. Solusi dan kebijakan politik yang berada di luar dari Jendela Overton, baik di kiri mau pun di kanan, dianggap oleh publik sebagai sesuatu yang radikal dan berbahaya.
Apa yang dianggap normal dan apa yang dianggap radikal tentu saja selalu berubah seiring zaman. Misalnya, Ada periode di masa lampau di Eropa di mana menaruh harapan dan kekuatan besar pada institusi agama berada dalam Jendela Overton sedang menjadi atheis jelas adalah sesuatu yang ekstrim. Di abad 21 ini rasanya kedua hal tersebut telah bertukar posisi.
Selama ini sering dianggap bahwa yang paling mampu untuk menarik kelompok massa paling besar adalah mereka yang berada di tengah/sentris dan menjadi titik kompromi bagi semua kalangan. Overton mengganggap bahwa penting bagi siapa pun yang ingin menarik dukungan publik untuk mengeluarkan wacana yang berada dalam Jendela Overton karena pemikiran yang berada di luar jendela hanya akan menarik bagi segelintir orang tak peduli betapa militannya mereka. Seperti kita ketahui, dalam politik demokrasi, yang memenangkan kompetisi bukanlah ide yang paling bagus tapi ide yang menarik dukungan publik paling besar.
Owen Jones, penulis politik Inggris, dalam bukunya The Establishment, menuliskan bagaimana kelompok politik konservatif di Britania Raya menjadikan Jendela Overton sebagai salah satu senjata mereka yang paling ampuh. Dengan menggeser jendela tersebut ke kanan, maka apa yang dianggap normal dan mainstream dengan sendirinya bergeser. Maka pelan-pelan mereka mulai mengapungkan berbagai wacana liberalisme ekonomi dan politik seperti privatisasi lembaga negara dengan harapan hal seperti ini akan menjadi arus utama.
Meskipun begitu, belakangan dipahami bahwa cara terbaik untuk menggeser Jendela Overton bukan dengan cara mendorongnya pelan-pelan dari tengah ke pinggir, tapi dengan memposisikan berada sejauh mungkin dari tengah dan menarik Jendela Overton dari posisi tersebut. Jika mengacu pada pola pikir ini, maka yang lebih efektif adalah mengeluarkan wacana-wacana ekstrim daripada mencetuskan ide-ide yang moderat.
Inilah yang dilakukan Trump dengan segala kegilaannya sejak masih proses Primary partai Republik hingga ia terpilih sebagai presiden. Trump membombardir seantero negeri dengan berbagai gagasan radikal sehingga dengan sendiri, meskipun tak serta merta gagasannya bisa diterapkan, Jendela Overton telah bergeser. Apa yang dianggap normal di era Trump tak lagi sama dengan era sebelumnya. Contoh sederhana: mendapatkan dukungan dan mempunyai relasi politik dengan Rusia terlihat seperti sesuatu yang biasa saja di era Trump. Sulit membayangkan hal seperti ini tidak menciptakan malapetaka politik di era George W Bush sekalipun.
Meski Overton sejatinya adalah seorang pemikir kanan dan konsepnya banyak diaplikasikan oleh kalangan di spektrum tersebut, menggeser Jendela Overton juga bisa menguntungkan mereka yang berada di sebelah kiri. Apa yang dilakukan self-proclaimed sosialis Bernie Sanders dengan wacana menggratiskan uang kuliah dan janjinya untuk mengontrol ketat Wall Street adalah upaya untuk menggeser Jendela Overton ke sebelah kiri. Demikian juga dengan apa yang ingin dicapai oleh Jeremy Corbyn ketika Ia terpilih menjadi pemimpin Partai Buruh di UK.
Pendeknya, menggeser Jendela Overton adalah upaya untuk meredefinisi apa yang dianggap normal dan mudah diterima. Harus diingat bahwa ini tak serta merta menentukan apa yang benar dan apa yang salah. Hanya ada yang normal dan apa yang radikal.
Konsep Jendela Overton ini menjadi menarik ketika melihatnya dalam bingkai Pilkada DKI 2017 yang sedang berlangsung. Kontestasi politik di Indonesia sejak 2014 cenderung mengerucut dan bila pertarungan spektrum politik bukanlah sesuatu yang baru dalam peta politik Indonesia sejak dulu, apa yang kita saksikan selama 3 tahun terakhir adalah polarisasi yang kian sengit. Jika belum sampai pada tatanan ideologi, paling tidak ini terlihat pada bagaimana kandidat memposisikan diri mereka yang kemudian diikuti oleh para pendukungnya.
Saya tertarik untuk menggunakan teori Overton ini sejak seorang Cagub secara terbuka menjalin hubungan dengan kelompok yang dahulu dianggap ekstrim dan posisinya jelas jauh berada di luar Jendela Overton. Beberapa tahun lalu tak akan terpikir khalayak kebanyakan untuk melihat cagub tersebut didukung oleh kelompok-kelompok yang jauh dari demografi politiknya yang cenderung moderat. Langkah tersebut bisa dipahami sebagai langkah untuk menggeser Jendela Overton ke kanan sehingga apa yang ia lakukan dianggap normal dan biasa saja. Ketika Jendela Overton telah bergeser, maka impresi yang muncul bukanlah sang cagub telah bergeser menjadi radikal, melainkan apa yang dilakukannya adalah sesuatu yang normal dan wajar. Berlawanan dengan anggapan banyak orang, saya pun menolak untuk mengatakan bahwa sang Cagub telah menjadi ekstrim. Ia hanya telah mengkalibrasi ulang apa yang dianggap normal.
Karena salah satu pokok utama soal konsep Overton adalah soal konsensus publik perihal normalitas isu tertentu, maka harus dikatakan bahwa sang Cagub telah sukses, paling tidak sementara ini, menggeser jendela tersebut. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana tak sedikit pula pendukungnya yang meredefinisi ulang apa yang mereka nilai sebagai sesuatu yang moderat dan bisa diterima. Ketika mereka yang di tengah telah bergandengan tangan dengan mereka yang di tepi, maka proses penggeseran jendela telah sukses, seperti halnya ketika maniak seperti Milo Yiannopoulos berada di kapal dukungan yang sama dengan Paul Ryan.
Turunan penggeseran jendela ini pun bisa terlihat pada perilaku pendukung. Politik identitas yang dalam 1-2 tahun terakhir melakukan comeback secara global pun terasa penerapannya di sini. Maka apa yang terjadi adalah sentimen kami versus kalian. Nasionalis melawan non-nasionalis. Pro-asing melawan anti-asing. Religius melawan non-religius. Hal ini berbeda dengan anggapan tradisional yang berangkat dari pemahaman Geertz soal dikotomi santri dan abangan. Religi selalu menjadi salah satu tonggak kehidupan bernegara Indonesia sehingga saat kontestasi politik terjadi antara mereka yang religius dan abangan, anggapan umum adalah mereka yang abangan bukannya tak religius, tapi mereka hanya lebih tidak religius dibanding yang religius. Bergesernya Jendela Overton secara tak adil kerap menempatkan mereka yang abangan sebagai anti-agama. Jika kalian tidak sama dengan kami, maka kalian adalah anti-kami. Tidak ada posisi tengah.
Namun sama seperti di tempat lain di mana aplikasi Jendela Overton tidak hanya monopoli kelompok politik spektrum tertentu, sesungguhnya menggeser jendela ini juga dilakukan oleh cagub petahana. Isu penggusuran, misalnya, selalu menjadi salah satu isu yang sensitif karena sejarah panjangnya yang dekat dengan represi dan trauma rezim otoriter Orde Baru. Dalam banyak kasus, penggusuran kelompok masyarakat marjinal akan dengan cepat dianggap sebagai kebijakan yang tidak pro-rakyat. Namun dengan berbagai kampanye dan kerja media, pemahaman soal hal ini bisa berubah. Jendela Overton telah digeser.
Dulu mentor politik saya pernah berkata bahwa sesungguhnya politik Indonesia pasca reformasi adalah politik yang sentris secara ideologi. Sehingga kita cenderung melihat satu partai dan satu kandidat tak banyak jauh berbeda dengan partai dan kandidat lainnya. Gagasan yang terlalu kiri atau terlalu kanan tak akan menarik di Indonesia. Mungkin benar demikian. Namun rasanya ini yang membuatnya menggoda untuk melihat fenomena politik kita dari kacamata Overton. Jika posisi yang terlalu ke pinggir dianggap radikal, maka memang lebih baik untuk mengkalibrasi ulang apa yang dianggap tengah.
tulisan ini pertama kali dipublikasikan (dengan alterasi editorial) di Tirto.id