Post-Mortem Pilkada DKI: Saatnya Mengorganisir Diri
Demokrasi yang menghasilkan pemimpin yang tidak anda pilih tetaplah demokrasi. Hanya karena anda tidak suka dengan hasilnya bukan berarti bahwa hasil pemilihan tersebut tidak demokratis. Satu orang, satu suara. Yang mendapatkan suara terbanyak keluar sebagai pemenang. Hal ini terdengar seperti nada yang riang bagi pihak yang menang, namun akan menjadi melodi yang pilu bagi yang kalah. Namun memang begitu kenyataannya. Demokrasi adalah panggung supremasi warga dan warga Jakarta telah memilih Anies Baswedan sebagai Gubernur yang baru.
Dalam beberapa hari terakhir, atmosfer lingkaran sosial terdekat saya terasa mencekam layaknya film horor. Saya mencoba untuk mengerti karena setelah menggantung harapan tinggi selama beberapa bulan terakhir, ternyata Ahok kalah dengan perbedaan suara yang cukup jauh jika menilik hasil hitung cepat. Rasanya Ahok telah melakukan pekerjaan yang luar biasa di Jakarta dalam masa singkat Ia menjabat sebagai gubernur. Reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi menjadi buah bibir. Demikian juga dengan meningkatnya kualitas pelayanan terhadap warga dan fasilitas umum yang juga semakin membaik secara mutu dan jumlah. Tingkat kepuasan (Approval Rating) yang tinggi terhadap Ahok mendukung argumen ini. Namun memang ternyata ini tidak cukup untuk membuatnya menang Pilkada.
Mungkin ini bukan opini yang populer, tapi saya pikir Ahok kalah bukan semata karena sentimen etnis dan agama. Saya bukan orang pandir yang bilang bahwa tidak ada sentimen etnis dan agama yang dimainkan dalam Pilkada DKI ini. Malahan sentimen ini mempunyai pengaruh dan peran yang besar untuk memenangkan suara. Tapi saya menolak untuk percaya bahwa ini satu-satunya alasan.
Kita semua sudah tahu bahwa dengan politik identitas yang menjadi tren, sentimen ini akan dimainkan. Ini bukanlah fenomena baru yang yang ujug-ujug muncul tanpa terduga dan membuat semua orang kaget. Ini sudah terjadi dalam waktu yang lama dan secara gradual semakin membesar. Saya pikir kekalahan Ahok bukan semata karena faktor sentimen etnis dan agama yang dipergunakan, tapi kegagalan untuk merancang kontra-strategi yang tepat untuk melawan itu semua.
Mungkin ada pertimbangan matang yang muncul dari hasil diskusi panjang oleh para ahli strategi Ahok ketika mereka merumuskan taktik, tapi nyatanya memang memasang hasil kerja dan produk yang sudah terbukti sebagai ujung tombak kampanye ternyata tak cukup untuk memenangkan suara mayoritas. Ternyata menggunakan argumen keberagaman dan toleransi sebagai jualan utama juga tak cukup ampuh. Bahkan memposisikan diri sebagai gerakan anti radikalisme kanan (termasuk menggunakan beberapa jurus yang cenderung fear-mongering) ternyata juga mentah. Nyatanya mayoritas pemilik suara tak menggubrisnya.
Saya bukan penggemar Ahok, tapi saya memilih Ahok. Perbedaan antara penggemar dan pemilih ini harus dibedakan benar-benar karena belakangan lahir demokrasi model fandom K-Pop yang mendewakan figur sebagai tuhan yang tak bisa salah. Saya memilih Ahok karena saya rasa Ia yang terbaik untuk memimpin Jakarta, bukan saya menjadi anggota fans club atau bukan karena kebetulan saya menjadi benalu yang dapat proyek miliaran untuk membantunya kampanye.
Ketika ternyata lebih banyak warga Jakarta yang tidak sependapat dengan saya, maka saya harus menghormatinya. Usai kekalahan di Pilkada DKI, saya rasa kita tak bisa dengan cepat mengatakan bahwa Jakarta tak layak mendapatkan Ahok. Jika kita tenggelam dalam narasi “Jakarta doesn’t deserve Ahok” atau “ternyata Jakarta cuma segini doang”, dengan sendirinya kita memposisikan diri lebih tinggi secara moral dibanding dengan mayoritas pemilih di Jakarta. Ini adalah jebakan pikir yang membuat dialektika politik kita jalan di tempat.
Saya dengan tulus mendoakan Mas Anies Baswedan dan Sandiaga Uno sebagai pasangan Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jaakarta terpilih untuk bekerja sebaik-baiknya dan menjadi pemimpin bagi semua warga Jakarta untuk semua tanpa memandang perbedaan agama, etnis, kelas sosial dan ekonomi. Saya tidak mendoakan Mas Anies untuk berbuat kesalahan. Saya tidak mengharapkan Ia tergelincir. Kenapa? Karena sebagai warga Jakarta, saya ingin hidup dengan sejahtera dan nyaman di kota saya. Mengharapkan pemimpin kota tempat tinggal melakukan sesuatu yang buruk sama saja dengan mengharapkan sesuatu yang buruk terjadi pada diri sendiri. Lagi-lagi, saya adalah warga kota dan pemilik suara, bukan anggota fans club. Mas Anies sebagai Gubernur DKI Jakarta terpilih harus menjadi pemimpin yang baik tidak hanya bagi para pemilihnya, namun juga bagi mereka yang tidak memilihnya.
Jika ada pelajaran yang bisa dipetik dari proses Pilkada DKI Jakarta ini, yang paling besar rasanya bahwa demokrasi hore-hore dan selebrasi semu memang tak cukup untuk memenangkan pertarungan politik. Tidak ada yang bisa menyangkal bahwa kubu Anies-Sandi memiliki kerja organisasi yang lebih baik. Karena pada akhirnya, pertarungan politik dimenangkan oleh kotak suara, bukan polling di Twitter atau onani hestek. Demokrasi, meminjam istilah seorang kawan, bukan sekadar mainan jempol.
Maka jika anda kecewa dengan hasil Pilkada DKI Jakarta kemarin, dibanding tenggelam lama-lama dalam kesedihan sembari mengancam kepada diri sendiri untuk hengkang dari Jakarta, lebih baik berbuat sesuatu. Inilah saatnya untuk mengorganisir diri. Inilah saatnya untuk berembuk bersama. Bersuara tidak sporadis sebagai individu, tapi sebagai satu badan. Demokrasi yang hakiki adalah partisipasi warga secara kolektif. Bersatu kita teguh. Klise, tapi benar.
Di tempat lain dengan demokrasi yang lebih dewasa, kekalahan sebuah kubu biasanya berdampak pada meningkatnya militansi kubu tersebut. Hal ini terjadi usai Pemilu AS kemarin di mana kubu progresif dan moderat merapatkan barisan. Di UK, usai kemenangan Tory, jumlah keanggotaan Labour meningkat. Inilah yang harusnya terjadi di Jakarta dan dilakukan oleh kubu yang berbendera moderat dan progresif.
Peran kontrol warga terhadap otoritas adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan demokrasi. Tentu saja kontrol warga yang terorganisir akan lebih efektif dibandingkan dengan yang sporadis.