Di Mana-Mana Ada Wiji Thukul

Pada awalnya Wiji Thukul adalah nama asing yang menyelinap ke dalam ingatan setelah berulang kali berjumpa dengannya dalam berbagai laporan berita. 

Demam puisi dan mendadak sastra belum lama berlalu kala itu di medio 2000-an, berkat Ada Apa Dengan Cinta yang mengakibatkan banyak pelajar pria terpanggil untuk membangkitkan inner Rangga dalam diri mereka. Liberalisasi informasi dan media di era tersebut menyebabkan munculnya pahlawan-pahlawan baru bagi para remaja yang bosan dengan konsep heroisme konvensional. Menjadi seseorang yang keren tidak melulu harus berotot atau berseragam. Lelaki puitis dan penyendiri macam Rangga pun juga bisa dijadikan idola.

Hal yang sama berulang, misalnya, ketika generasi Millenials awal ini diperkenalkan dengan sosok Soe Hok Gie usai dirilisnya film mengenai dirinya dan buku Catatan Seorang Demonstran yang dicetak ulang. Idealisme dan romantisme Gie menjadikannya panutan bagi generasi yang sedang mencari jati diri, meski jelas Gie sesungguhnya tak segagah Nicholas Saputra yang memerankannya.

Bagi mereka yang remaja di paruh pertama abad 21 seperti saya, nama Wiji Thukul lamat-lamat terdengar di saat yang berdekatan dengan kemunculan Rangga. Wajar memang bila lebih banyak yang mengenal Rangga karena Wiji Thukul, meski sama-sama berambut ikal, bukanlah karakter fiktif di layar lebar. Kita memang kadang lebih gemar yang rekaan dibanding yang sungguhan. Wiji Thukul adalah orang beneran yang hilang karena menantang kelaliman dengan kata-kata. Ia adalah duri dalam daging, api dalam sekam. Wiji Thukul adalah nada minor dalam orkestrasi musik Orde Baru yang mengharamkan tanda kruis.

Lupakan Chairil dan Rendra, berkat pendidikan sastra yang seadanya, banyak orang seangkatan saya yang pertama kali bersinggungan layak dengan puisi karena Ada Apa Dengan Cinta. Namun berkenalan dengan Wiji Thukul tentu saja menghadirkan sensasi yang berbeda. Belum kelar kekaguman pada baris liris Rangga seperti “Ku lari ke hutan…ku lari pantai”, datang Wiji Thukul dengan lantang menohok mata. “…maka hanya ada satu kata: lawan!”

Setelah beberapa kali membaca satu dua puisinya secara tak sengaja, saya meminjam buku Aku Ingin Jadi Peluru dari seorang teman sekolah. Tentu saja dari balik tembok sekolah unggulan yang berpendingin, waktu itu saya tak akan bisa merasakan apa yang memicu Wiji Thukul untuk menuliskan adagiumnya soal perlawanan yang dahsyat itu. Tapi satu baris kalimat itu begitu mencengkeram kepala hingga saya menuliskannya di mana-mana, dari mulai lembaran buku pelajaran hingga dinding kamar. Saya menjadikannya kalimat Wiji Thukul tersebut sebagai pekik perang dalam pergolakan pribadi yang sama sekali tak ada urusan dengan politik. Karya yang hebat memang selalu bisa diinternalisasi lintas konteks. Saya tak pernah mengembalikan buku pinjaman tersebut.

Melahap Wiji Thukul memang menghadirkan gegar otak yang lumayan bagi mereka yang tak dekat dengan dunia yang digambarkan dalam berbagai karyanya. Salah satu puisinya yang begitu mengguncang bagi saya sendiri adalah Satu Mimpi Satu Barisan. Wiji Thukul menggoreskan pena untuk Sofyan yang berjualan baso karena dipecat akibat demo menuntut perbaikan gaji atau Udin, buruh sablon yang dadanya rusak akibat amoniak. Wiji Thukul menyayat tinta untuk Sodiyah yang suaminya terbaring sakit karena tipus dan Siti yang lunglai karena terpaksa harus kerja 24 penuh.

Puisi Satu Mimpi Satu Barisan begitu kuat meninggalkan kesan karena dalam torehan kata-kata yang relatif singkat, Wiji Thukul menghadirkan dunia yang tak saya ketahui sebelumnya. Dunia para pekerja dan buruh pabrik yang terasa ribuan kilometer jauhnya dari gemerlapnya kehidupan metropolis kelas menengah di ibukota. Dunia mereka yang tak bisa dibungkam popor senapan.

Hal ini sekaligus mengingatkan peran vital dari karya-karya Wiji Thukul sebagai totem memori dari masa lalu yang belum tentu semua orang tahu. Saya masih terlalu kecil untuk bisa turun ke jalan atau terlibat dalam pergerakan menjelang jatuhnya Soeharto, namun puisi-puisi Wiji Thukul adalah monumen perlawanan bagi generasi kemudian yang tak awas dengan yang silam.

Mempreservasi dan menyebarluaskan karya-karya Wiji Thukul menjadi penting karena kebiasaan buruk kita yang sering alpa dan lupa dengan sejarah. Saya beberapa kali hadir dalam forum dengan peserta mahasiswa tingkat awal dan pelajar SMA yang tak punya gambaran apa-apa soal Mei 1998 dan apa yang terjadi sebelumnya. Saya pernah datang dalam sebuah acara yang juga dihadiri mahasiswa dan pelajar di mana foto wajah Wiji Thukul dikira gambar Didi Kempot (dan di tempat yang sama, foto Munir dikira Polo Srimulat). Mereka bukannya sedang bergurau. Mereka memang tidak pernah melihat dan tahu siapa Wiji Thukul.

Maka mengingat Wiji Thukul lebih dari sekadar merayakan puisi dan kata-kata. Mengingat Wiji Thukul adalah bagian dari proses perjuangan yang belum usai untuk melawan ketidakadilan. Melawan kelaliman. Melawan lupa.

“Di mana-mana ada Sofyan, ada Sodiyah, ada Bariyah”, tulis Wiji Thukul.

Ia hilang hingga sekarang dan mungkin tak akan pernah ditemukan.

Namun ia tetap hidup karena puisi-puisinya membuat Wiji Thukul ada di mana-mana.

Satu mimpi. Satu barisan.

 

tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kumparan