Soal Populisme, “Kami”, dan “Kalian”

Tren populisme yang sedang laris macam kacang rebus di tengah kemacetan ini membingungkan dalam hal menentukan siapa sebenarnya yang sah untuk mengklaim dirinya populis. 

Czech Republic baru saja memilih Ondrej Babis sebagai presidennya. Semua laporan media menuliskan Babis sebagai politisi anti-establishment dari partai populis. Babis juga adalah salah satu orang terkaya di Czech Republic.

Namun ini bukan kali pertama tentu saja bagi seseorang untuk mengklaim dirinya populis dan anti-establishment padahal di saat yang bersamaan dirinya berasal dari establishment. 

Donald Trump memenangi Pemilu Amerika Serikat dengan narasi kampanye sebagai pahlawan bagi kelas pekerja dan masyarakat menengah ke bawah yang terlupakan. Trump, seperti anda tahu, tentu saja bukan kelas pekerja dan bukan masyarakat menengah ke bawah. Tapi cobalah mengobrol dengan seorang suporter Trump dan Ia akan mengatakan bahwa Trump berjuang untuk hidup ordinary American. Tidak ada yang ordinary dengan hidup Trump sejak Ia lahir.

Ketika Emmanuel Macron memenangkan kursi presiden Prancis, partai yang Ia dirikan, En Marche, dianggap sebagai partai populis yang lebih disukai dibanding Front Nationale-nya Marine Le Pen yang juga populis namun rasis. Macron dianggap sebagai figur yang bisa merangkul kelas pekerja Prancis yang terkesampingkan di bahwa pemerintahan Francois Hollande yang sosialis itu. Macron juga adalah mantan bankir Rothschild.

Lebih dekat ke rumah, anda bisa lihat sendiri siapa saja figur politik yang mencap dirinya anti-establishment dan “memperjuangkan rakyat” namun di saat yang bersamaan secara sosial dan ekonomi tak pernah jadi “rakyat”. (Saya ogah sebut nama karena nanti interpretasi tulisan ini terdeviasi jadi soal pro dan kontra terhadap figur politik tertentu. Ini soal observasi umum).

Saya tidak mengatakan bahwa orang yang secara finansial lebih dari sejahtera tak bisa berempati dan memikirkan rakyat banyak. Saya bukan bagian dari sekelompok orang yang “progresif” tapi memiliki kecurigaan primitif dan berlebih terhadap pelaku bisnis. Tapi saya benar-benar penasaran apa yang mendasari seseorang, yang secara historis dan sosio-ekonomis tak populis, di depan elektorat dan calon elektorat potensialnya bisa mengklaim dirinya populis dan klaim tersebut diterima tanpa syarat.

Karena audiens yang kritis dan logis akan dengan cepat bereaksi dan mempertanyakan kesahihan klaim tersebut, apa jangan-jangan massa yang tidak kritis dan cenderung tidak logis membuat klaim-klaim tersebut bisa lolos begitu saja tanpa pembuktian?

You just cant fight the people. Catatan sejarah menunjukkan bahwa ketika anda bermusuhan dengan “the people”, maka anda akan tumbang. Tapi “the people” juga tidak selalu rasional dan reasonable. Massa dalam jumlah besar yang kurang terpapar dengan informasi dan rasionalitas cenderung akan mengandalkan emosi dan intuisi dalam berperilaku. 

Kalau kita menghitung kemampuan verifikasi sebagai buah dari rasionalitas, maka audiens yang tidak rasional adalah bencana di era informasi digital seperti sekarang di mana sekat antara informasi dan sampah sering kali samar. Absennya rasionalitas ini membuat “the people” menjadi sebuah aset potensial yang seksi bagi siapa pun yang ingin mengeksploitasi kecenderungan mereka untuk emosional. Dalam konteks media sosial, absennya rasionalitas ini adalah alasan utama mengapa hoax yang beredar dari Facebook page hingga grup Whatsapp bisa berkembang menjadi narasi utama yang menyetir kondisi emosional banyak orang.

Jika saya adalah pelaku realpolitik, saya tentu akan sangat tergoda untuk mengekspoitasi situasi di mana emosi lebih digdaya dibanding rasionalitas ini. Maka saya akan berupaya untuk mencari di manakah tombol-tombol emosi dari audiens potensial saya yang bisa saya pencet agar mereka bereaksi sesuai gendang yang saya mainkan.

Walau Trump terlihat seperti orang dungu, rasanya Ia tahu betul bahwa bagi sebagian populasi Amerika, tombol emosi itu adalah rasisme dan xenophobia. Ditambah dengan efek jangka panjang dari globalisasi (yang sebenarnya mereka juga yang memulai) terhadap perekonomian rakyat biasa dan lapangan kerja, maka Trump membentuk konstituensinya sendiri dengan mendaulat dirinya sendiri sebagai champion bagi wong cilik-nya Amerika. Persetan dengan fakta bahwa Trump adalah miliarder. Persetan dengan fakta bahwa Trump sejatinya adalah bagian dari The Establishment yang Ia serang. Ketika tombol-tombol emosi sudah dipencet dan rasionalitas hilang, maka tak ada yang mempertanyakan legitimasi dan kredibilitasnya.

Saat kemampuan berpikir kritis sudah tergerus, maka kemungkinan untuk mempertanyakan narasi apa pun akan semakin mengecil. Anda bisa memasukkan narasi dan pesan apa pun kepada subjek yang sudah terhipnotis dan emosional, termasuk dikotomi “kami” dan “kalian”.

Dikotomi “kami” dan “kalian” ini sebenarnya bukan barang baru. Mereka yang percaya dengan pertentangan kelas sudah dari dulu menggali kapak perang antara “kami” dan “kalian”, walau bagi mereka identitas kami dan kalian di sini didasarkan pada kelas ekonomi dan sosial. Namun apa yang terjadi di mana-mana sekarang soal “kami” dan “kalian” tak berhenti pada kelas sosio-ekonomi semata. Jurnalis dan kolumnis Paul Mason mengungkapkan kegetiran kaum progresif bahwa ketika insureksi terjadi seperti yang mereka dengungkan selama ini, mereka hanya jadi penonton karena insureksi yang terjadi didasarkan pada ras, etnis, agama, dan teritorial, bukan kelas ekonomi semata.

Definisi “Kami” dan “Kalian” berbeda-beda di tiap kawasan. Bagi orang-orang Eropa Barat, “kalian” adalah imigran pekerja dan buruh kasar dari negara lain. Bisa juga “kalian” berarti orang-orang yang memiliki budaya dan agama berbeda dengan apa yang mereka percaya sebagai budaya dan agama tradisional mereka. Bagi orang Amerika, “kalian” adalah orang-orang Hispanik yang bekerja secara ilegal di tanah mereka. “Kalian” bisa juga berarti para pengungsi dan keturunannya dari daerah konflik di Asia dan Timur Tengah. “Kalian” bisa juga berarti warga African-American yang memperjuangkan hak-haknya.

Mempolitisasi “kekamian” ini menjadi jaminan mutu kesuksesan karena ternyata minimnya rasionalitas membuat siapa pun yang mengklaim diri sebagai pembela “kami” serta merta mendapatkan dukungan untuk melawan “kalian”. Kemampuan dan daya nalar politik dari masyarakat direduksi ke titik nol di mana satu-satunya hal yang valid untuk diperjuangkan adalah identitas baik itu soal etnis, ras, atau agama.

Ketika politik identitas sudah dicerna dengan emosional, maka urgensi untuk mempertanyakan soal kebijakan, aplikasi, dan akuntabilitas menjadi berkurang. Ketika Trump diserang, maka para suporternya tinggal berkilah bahwa para musuh Trump adalah musuh Amerika dan rakyat pekerja Amerika. Tidak mengherankan juga untuk merasa bahwa dalam konteks yang berbeda, politik identitas yang dengan spektakuler dierami, ditetaskan, dan dikapitalisasi di Indonesia akan menghasilkan situasi yang serupa.

Maka siapa pun bisa mengklaim dirinya populis dengan bermodalkan politik “kami” dan “kalian” tanpa perlu benar-benar menjadi “kami” asalkan mengaku bermusuhan dengan “kalian”.