Gadis yang Menunggu di Terminal Keberangkatan
Isa menghitung, sore itu adalah kali kelima dalam sebulan ia melihat gadis itu duduk seorang diri di pojok kedai kopi di terminal keberangkatan bandara. Selalu ada laptop yang terletak di hadapannya, meski hanya sesekali gadis itu menatap ke layarnya. Sang gadis lebih sering membaca buku atau mengecek ponselnya dibanding memaku perhatiannya ke laptop. Ada helm sepeda tercantol di ranselnya dan hanya sekali Isa melihat gadis tersebut tak mengenakan sneakers. Ia selalu sendiri tanpa ada seorang pun menemani. Ia pun tak pernah nampak sedang menunggu kehadiran orang lain. Ia terlihat nyaman dengan kesendiriannya seperti pohon kelapa di pinggir pantai yang tak pernah mengeluh dalam menantang angin.
Isa tak terlalu memperhatikan sang gadis di kesempatan pertama. Tubuhnya mungil, namun berisi. Rambutnya pendek dan diwarnai kecokelatan, meski tak secokelat wajahnya. Umurnya mungkin 25 atau 26. Ia memakai kacamata, namun tak menutupi pandangan matanya yang terlihat cerah, memancarkan kepercayaan diri yang menyiratkan bahwa ia tak akan punya masalah untuk membuka percakapan dengan orang asing.
Tapi baru setelah si gadis menyapanya untuk meminjam korek api lah Isa mulai mengamatinya. Isa menjawab ia tak punya karena dirinya bukan perokok. Itulah satu-satunya pertukaran kata antara Isa dengan sang gadis di pertemuan pertama. Sang gadis lalu kemudian tenggelam dalam buku yang ia genggam erat, sementara panggilan boarding membuat Isa harus bergegas.
Minggu depannya Isa kembali ke bandara tersebut untuk pulang ke Jakarta. Ia bekerja di departemen marketing sebuah perusahaan multinasional. Sudah 3 tahun ia bekerja di sana dan karena prestasi kerjanya, jabatannya sekarang hanya setingkat lagi sebelum mencapai level manajer. Hanya tinggal menunggu waktu sebelum ia mencapai posisi tersebut. Hidupnya pun menyenangkan untuk standar kebanyakan orang. Dengan gaji lebih dari cukup dan mobil pribadi pemberian orang tua selepas kuliah, satu-satunya beban dalam hidupnya adalah membayar cicilan apartemen. Tapi itu pun tak masalah baginya karena tujuh bulan lagi angsurannya akan lunas. Nyaman dan berkelimpahan, seharusnya Isa tak punya alasan untuk mengeluh dalam hidup.
Tapi memang bukan sifat manusia untuk puas dan cepat bersyukur. Setiap hari di jalan pulang dari kantor, ia selalu memutar rekaman demo band-nya waktu kuliah dulu. Tak pernah terlewat satu hari pun tanpa ia memasang CD tersebut di perangkat audio mobilnya. Rekaman tersebut berisi 4 lagu garage rock yang total berdurasi kurang lebih 15 menit. Saking seringnya ia memutar rekaman tersebut, ia menggunakan durasi rekaman itu untuk mengukur waktu tempuh dari tempat tinggalnya ke kantor. Satu trip dari rumah ke kantor jika tidak macet akan memakan waktu yang cukup untuk rekaman demo tersebut berulang dua kali. Jalanan Jakarta yang jahanam di jam pulang kerja akan membuat rekaman demo tersebut berulang hingga empat kali, atau jika sedang sial, lima.
Isa hanya memutar rekaman demo tersebut pada hari kerja. Ia tak pernah memasangnya pada akhir pekan. Ia menggunakan rekaman demo tersebut sebagai totem pengingat tentang nasib yang terrenggut darinya ketika orang tuanya memaksanya untuk menanggalkan mimpi menjadi musisi profesional usai meninggalkan bangku universitas.
"Mau jadi apa kamu kalau ngeband terus? Kamu disekolahin bukan buat jadi anak band", tegur orang tuanya. Isa mencoba berargumen dengan sengit bahwa karir sebagai musisi bisa berjalan simultan dengan pekerjaan di korporasi, namun ketika ibunya memberi ultimatum, "Kamu harus bersumpah tidak akan main band lagi, kalau tidak mama lebih baik mati", ia tak punya pilihan lain.
Sepeninggal Isa, teman-teman seband-nya mencari bassist pengganti untuk meneruskan ambisi. Tahun lalu band merilis album pertama di bawah label independen terkemuka yang meledak di pasar dan mendapat puja-puji dari kritikus musik nasional, di mana 4 lagu dari album demo yang dulu ia kerjakan juga termasuk di dalamnya. Isa sudah menghibahkan lagu-lagu tersebut untuk dikomersialkan oleh bekas band-nya dan ia tak akan mengklaim apa pun selama dalam kredit tercantum bahwa ia termasuk dalam tim penulisnya.
Terkadang Isa iri dengan pencapaian bekas band-nya karena seharusnya ia juga menjadi bagian dari prestasi tersebut, tapi ia tak kuasa untuk melanggar sumpahnya. Tapi musik tetap menjadi renjana nomor satu bagi dirinya dan sebagai kompensasi emosionalnya, ia mulai belajar menggunakan turntable untuk mixing lagu dan menjadi DJ. Sumpah kepada ibunya dulu ia akan berhenti ngeband, tapi nge-DJ tidak sama dengan ngeband, pikirnya. Jadi Isa berkesimpulan bahwa hobi barunya ini tak akan serta merta membuat ibunya meninggal dunia.
Walau begitu, Isa tak pernah berpikir menjadi DJ profesional. Ia tak kekurangan uang dan tak terlalu mementingkan seberapa ramai pengunjung venue tempatnya ngeDJ. Baginya ini hanyalah pelepasan hasrat batiniah. Jadi ketika seorang koleganya di kantor, yang memutuskan untuk mengundurkan diri dan membuka sebuah restoran/lounge di Bali, menawarinya untuk menjadi DJ reguler setiap 2 Sabtu malam sekali, Isa menyanggupi. Tak sepeser pun ia dibayar untuk jasanya nge-DJ. Tiket pesawat serta akomodasi semua ditanggung sendiri. Hanya minuman alkohol freeflow yang menjadi bayaran atas penampilannya.
Sudah 3 bulan Isa menjadi pelaju antar pulau pada akhir pekan untuk nge-DJ di Bali. Bulan ini, temannya mengabarkan bahwa DJ reguler lainnya sedang pulang kampung ke Brisbane dan menanyakan apakah ia mau tampil setiap pekan. Setelah dibujuk dengan voucher hotel berbintang, akhirnya Isa mengiyakan. Orang lain commute dari luar kota ke Jakarta untuk kerja, gue commute dari Jakarta ke Bali untuk ngeDJ. Gak dibayar pula. Fucking Ace. Begitu isi kepala Isa setiap Jumat petang.
Maka pada setiap Minggu ketika ia hendak kembali ke ibukota lah ia melihat si gadis duduk di titik yang sama di kedai kopi terminal keberangkatan. Jam kepulangan Isa tak tentu, kadang siang hari, kadang sore, tapi si gadis selalu ada di sana. Asyik membaca buku dan sesekali menengok ke layar laptop yang sengaja dimiringkan posisinya agar tidak mendistraksi perhatiannya, terkadang terkepul asap rokok dari bibir si gadis meski tidak selalu demikian. Isa menduga bahwa sang gadis hanya merokok jika ia sedang stres atau berada dalam kondisi mental tertentu.
Setelah bertukar satu kalimat di pertemuan perdana dan tak ada kata yang terucap di tiga pertemuan berikutnya, kali ini Isa memutuskan untuk menyapa gadis tersebut. Isa tak serta merta tertarik secara fisik padanya, meski jelas bahwa sang gadis berparas cukup elok. Ia hanya penasaran mengapa gadis ini selalu ada di terminal keberangkatan setiap Minggu dengan buku, laptop, dan helm sepeda. Calon penumpang? Tak mungkin. Untuk apa ia bawa helm sepeda. Kecuali sang gadis adalah jenis penumpang yang selalu membawa boneka kesayangannya masuk ke kabin pesawat dan dalam hal ini, "boneka" kesayangannya adalah helm sepeda. Tapi Isa buru-buru mengubur asumsi anehnya tersebut.
"Halo, boleh join duduk di sini?", Isa menyapa sang gadis dengan wajah yang ia usahakan terlihat seramah mungkin.
"Hmmm.....boleh", jawab sang gadis sambil mengernyitkan dahi pertanda curiga.
"Sorry kalau terdengar agak aneh, tapi beberapa minggu lalu gue juga ada di kedai kopi ini dan waktu itu elo mau minjem korek api dari gue".
"Masa? Hmm...Mungkin ya. Aku nggak terlalu ingat"
"Ya, tapi karena gue bukan perokok, gue gak punya korek waktu itu".
"Kamu gak harus jadi perokok untuk punya korek api. Aku punya pisau lipat di saku celana, tapi aku bukan tukang tusuk orang".
Pada momen itu Isa merasa bahwa si gadis sengaja menyinggung mengenai pisau lipat untuk memberi ancaman terselubung seandainya dirinya punya niat buruk terhadap sang gadis.
"Haha. Iya. Orang zaman sekarang ada yang bawa pisau lipat untuk jaga-jaga. Tapi buat apa coba orang bawa korek api kalau bukan buat merokok? Well, menurut gue sih orang yang selalu bawa korek api sih kalau bukan perokok, ya pasti pyromania"
"Pyro... apa?"
"Pyromania, jenis gangguan jiwa yang bikin orang yang mengidapnya suka melihat benda terbakar".
Sang gadis menatap Isa dengan tajam namun tak mengucapkan sepatah kata pun sebelum ia kembali mengecek monitor laptopnya. Terjadi keheningan canggung selama beberapa detik.
"Eh, gue selalu lihat elo setiap Minggu di sini. Literally tiap Minggu. Gak pernah berubah tempat. Gue penasaran, apa elo kerja di sini? Di bandara maksudnya".
"Really? Kamu lihat aku tiap Minggu di sini?", sahut si gadis dengan intonasi yang sedikit berubah. Kali ini ada sedikit senyum tersimpul di bibirnya.
"Iya, sekarang. Minggu lalu. Dua minggu lalu. Tiga minggu lalu. Sebelumnya juga."
"Haha, Yes. Gue selalu ke sini setiap Minggu. Gak cuma Minggu sih. Tapi hari-hari lain di mana gue lagi gak terlalu sibuk. Tapi gue memang selalu gak ada kerjaan kalau Minggu, jadi biasanya pasti ke sini."
"Jadi elo di sini cuma buat nongkrong sambil ngopi gitu? Gue pikir cuma calo tiket yang nongkrong di bandara."
"Haha, ya gak lazim sih memang nongkrong di airport. Tapi banyak alasan buatku lama-lama di sini. Alasan utamanya sih di sini internet cepat banget. Kalau download file speednya bisa sampai 2 Mbps, jauh lebih kencang dari tempat lain yang aku pernah datangi di Bali. Lumayan banget buat download torrent."
"Ah, ini internet gratis? Punyanya bandara? Masa bisa sekencang itu?", tanya Isa skeptis.
"Nih, lihat aja kalau gak percaya", ujarnya sambil menyodorkan layar laptopnya untuk diintip. Isa berdecak kagum ketika melihat aplikasi uTorrent milik si gadis menyedot file film HD sebesar 1,5 GB dengan kecepatan 2,1 Mbps.
Isa jadi tahu alasan mengapa sang gadis hanya sesekali menengok layar monitornya. Ia hanya ingin memeriksa progres dari file-file yang ia download dari Torrent.
"Jadi elo datang ke sini untuk memanfaatkan speed internet gratisnya buat download film dan sambil menunggunya elo baca buku? Gitu?"
"Ya, kurang lebih gitu. Nanti nontonnya paling di rumah."
"Seru banget. Berarti elo gak pernah bilang-bilang sama teman lo ya kalau elo suka ke sini? Nanti internetnya bisa gak cepat lagi kalau banyak yang pakai."
"Haha, aku bilang kok sama teman-temanku kalau aku suka ke bandara buat internetan. Tapi mereka gak pernah ikut datang. Mereka bilang terlalu jauh ke bandara hanya untuk akses internet saja. Memang jauh sih, tapi aku ke sini naik sepeda, sekalian olahraga. Lebih jauh, lebih baik."
Diiringi dengan lagu Top 40 yang mengalun dari perangkat audio milik kedai kopi dan derit pintu yang terbuka setiap ada pelanggan baru masuk, Isa dan si gadis terlibat percakapan yang hangat di mana mereka saling bertukar informasi mengenai latar belakang satu sama lain. Ternyata ia tidak berusia 20-an seperti dugaan Isa. Sang gadis berusia 31 tahun dan sudah tinggal lebih dari 5 tahun di pulau ini. Awalnya ia datang ke sini hanya untuk liburan sebulan, tapi karena satu dan lain hal, ia terpaksa harus memperpanjang durasi tinggalnya. Sebulan jadi dua bulan. Dua bulan jadi tiga bulan. Lalu jadi setahun, dua tahun, dan seterusnya. Sang gadis tak mengatakan apa pekerjaannya, tapi Ia mengaku bahwa ia tak pernah pulang ke kota asalnya sejak ia menjejakkan kaki di Bali.
"Aku gak tahu apa aku akan pernah angkat kaki dari tempat ini," ujar si gadis.
"Lho, orang tua kamu di mana? Mereka gak pernah minta kamu pulang?"
Ditanya seperti itu, si gadis sedikit tertegun sebelum akhirnya menjawab dengan pelan.
"Orangtuaku ada di tempat yang jauh. Mereka pernah minta aku untuk menyusul mereka, tapi aku masih belum yakin apa aku ingin. Kadang aku sering mikir untuk akhirnya bersama dengan mereka, tapi aku belum pernah benar-benar yakin apa itu yang ingin aku lakukan."
"Oh gitu. Tapi lo senang kan tinggal di sini? Maksud gue, elo sepertinya bisa hidup cukup di pulau ini dan, sorry kalau terdengar judgemental, kalau melihat barang-barang yang lo punya, sepertinya elo gak berkekurangan. Kalau lo masih senang di sini, ya oke-oke aja sih kalau elo belum mau pulang."
"Sebenarnya aku gak terlalu happy di sini. Gue udah bosan dan ingin cari suasana baru."
"Ya kalau gitu pindah aja lah. Cari kerjaan di kota lain. Atau bahkan negara lain. Kenapa tetap tinggal kalau ingin pergi?"
"Sayangnya situasinya gak segampang itu. Kaya tadi aku bilang, aku gak tahu apa aku bisa pergi dari sini."
"Apa yang menahan lo untuk gak pergi? Kontrak kerja dengan kantor lo sekarang?"
"Nggak."
"Atau ada komitmen lain di tempat ini yang gak bisa lo tinggal?"
"Nggak juga"
"Terus, apa dong?"
"Hmm...sayangnya aku gak bisa cerita sama kamu kenapa aku gak bisa meninggalkan tempat ini. Tapi aku tahu alasan aku cukup kuat untuk tidak hijrah dari pulau ini."
Keheningan kembali melanda. Isa memakai jeda ini untuk menyeruput kopi yang mulai dingin di hadapannya dan melihat jam di pergelangan tangannya. Lima menit lagi ia segera masuk karena akan segera boarding. Sebelum Isa sempat mengucapkan perpisahan, si gadis mengatakan sesuatu dengan raut wajah yang menegang.
"Ini sebenarnya alasan utamaku untuk datang ke airport setiap kali aku punya waktu kosong. Aku selalu ingin berada di terminal keberangkatan. Aku tahu bahwa tak berarti bahwa aku akan benar-benar pergi, tapi aku ingin berada sedekat mungkin dengan kemungkinan aku berangkat. Di tempat ini aku selalu melihat para pelancong dengan koper dan bagasi mereka menunggu waktu untuk terbang. Aku tak tahu kapan aku akan berangkat, tapi di tempat inilah aku berada dalam titik terdekat dengan keberangkatan."
Isa terdiam dan mencerna rangkaian kalimat tersebut.
"Kamu tahu, pikiran manusia selalu dipenuh dengan keraguan yang tak terbatas. Keinginan dan keengganan sesungguhnya selalu terlibat dalam adu panco yang tak akan pernah usai. Dalam adu panco di mana kedua kontestannya punya kekuatan yang sama, yang akan menjadi penentu kemenangan bukanlah kekuatan otot, tapi kekuatan niat. Datang terus menerus ke bandara adalah usahaku untuk menumbuhkan niat. Suatu saat nanti aku akan benar-benar berangkat," ujar sang gadis.
Isa melihat lagi jam tangannya. Ia benar-benar harus pergi sekarang jika tidak ingin ketinggalan pesawat.
"Senang bisa ngobrol sama elo setelah berkali-kali hanya melihat elo dari jauh, tapi sekarang gue harus berangkat. Semoga elo bisa secepatnya berangkat ke mana pun yang elo mau," ujar Isa.
"Terima kasih, kamu orang pertama yang ngajak aku ngomong di tempat ini. Have a safe flight."
Sebelum Isa beranjak, ia mengambil tas kecil tempatnya menyimpan koleksi CD yang ia gunakan untuk nge-DJ dan mengambil satu CD dari dalamnya. Itu adalah kopi dari rekaman demo bekas band-nya dulu
"Obrolan kita sore ini ngena banget ke gue. Ini gue mau ngasih elo sesuatu, anggap aja souvenir dari gue. CD ini adalah lambang dari keengganan gue untuk berangkat selama ini. Mungkin sekarang saatnya gue untuk benar-benar berangkat. Nanti dengerin aja di rumah, tapi tolong jangan ditaruh di Torrent."
"Hehe, okay."
"See you next week, perhaps?"
Sang gadis hanya tersenyum dan menjawab, "Goodbye".
***
Keesokan harinya Isa kesulitan untuk mengukur jarak tempuh dari apartemennya ke kantor. Satu-satunya kopi dari rekaman demo bekas band-nya sudah ia berikan kepada gadis yang selalu menunggu di terminal keberangkatan.
***
Seorang gadis berdiri sendiri di tengah kesunyian malam. Tangan kirinya memegang jerigen. Tubuhnya basah, bau kerosin. Tangan kanannya memegang pemantik. Dalam hatinya ia berseru, sekarang aku siap untuk berangkat.