Sebuah Komentar Atas Surat Dari Praha

Hope is not the conviction that something will turn out well but the certainty that something makes sense, regardless of how it turns out. - Vaclav Havel

Adegan terbaik bagi saya dalam film Surat Dari Praha adalah sebuah momen kecil di depan KBRI Praha saat mula cerita. Jaya menganjurkan Larasati untuk minta kamar tempat menginap di dalam KBRI. Larasati ngotot bahwa orang-orang kedutaan justru menyarankannya untuk bermalam di rumah Jaya, yang bersikeras menolak direpotkan oleh kehadiran tamu tak diundang.

Karena Jaya ngotot bahwa seharusnya KBRI bisa menyediakan atap bagi warga negara Indonesia yang dalam kesulitan di luar negeri, Larasati yang tak mau kalah menukas, “Kenapa anda tidak masuk saja ke dalam dan bicara sendiri sama mereka?”

Yang terjadi kemudian adalah sebuah momen yang membuat saya merinding menyaksikannya. Jaya menatap ke arah KBRI Praha yang megah itu dan matanya nanar. Ekspresi mukanya menunjukkan bahwa pikirannya bercampuraduk. Marah. Kesal. Sedih. Jijik. Bangunan kedutaan besar di depannya bukan hanya sekadar simbol kedaulatan diplomatik, namun juga sebuah totem pilu bagi mereka yang terberai dari pangkuan republik.

Revolusi memakan anak kandungnya sendiri, demikian kita sering mendengar. Jaya tak dimakan oleh siapa-siapa. Ia hanya bagian dari mereka yang terbuang dan tak diaku.

Saya kelewatan limited screening Surat Dari Praha karena sedang tak di Indonesia saat itu, namun beberapa teman yang menyaksikan terlebih dahulu berdebat apakah ini film cinta dengan bumbu sejarah politik atau film politik dengan bumbu cinta. Saya pikir tak penting mempermasalahkan sesuatu yang bukan masalah meskipun saya harus mengakui bahwa panca indra saya lebih terstimulasi pada adegan dan dialog yang jelas-jelas politis.

Entah berapa kali ada adegan di mana Jaya dengan lantang mengatakan bahwa ia menolak rezim Orde Baru dan Soeharto. Mungkin mengatakan tidak kepada pemerintahan Orde Baru adalah sesuatu yang cenderung taken for granted sekarang ini, terlebih pada generasi yang tumbuh besar setelah 1998. Namun di era post-reformasi seperti sekarang pun, pernyataan penolakan Jaya terhadap Orde Baru tetap sebuah statement politik yang tegas dan berani, terlebih jika mengingat tak sedikit apologis (dan yang lebih mengkhawatirkan, revivalist) Orde Baru di luar sana.

Berapa banyak orang seangkatan Jaya yang dahulu di dalam hati mempunyai sikap politik yang sama namun tak sanggup bersuara? Berapa banyak bahkan mereka yang seumuran Jaya yang menjadi bagian dari rezim tersebut? Hal ini yang membuat setiap kalimat anti Orde Baru yang dilontarkan Jaya bergaung lebih besar dari kedengarannya.

Karakter Jaya didasarkan pada eksil-eksil Indonesia yang tersebar di penjuru Eropa pasca 65. Saya kembali bergidik pada adegan ketika para eksil terhormat tersebut muncul sebagai cameo. Saya tak bisa tidak melayangkan pikiran ke puluhan tahun silam saat momen yang akan mengubah jalan hidup mereka terjadi. Apa yang berkecamuk dalam benak mereka saat itu?

Jaya mengatakan bahwa beberapa eksil memang komunis, namun lebih banyak yang nasionalis, Soekarnois. Mereka dengan sadar memegang teguh prinsip politik yang mereka percaya meski mereka tahu bahwa mereka harus membayar dengan nasib yang berubah arah. 

Di sinilah kutipan di atas dari Vaclav Havel, penulis oposisi yang kemudian menjadi Presiden Cekoslowakia teresonansi dengan dahsyat. Havel, sejatinya seorang sastrawan, menjadi buruan polisi rahasia Cekoslowakia karena karya-karyanya yang anti rezim komunis dan harus mendekam dalam penjara. Havel tahu benar konsekuensi dari aktivitasnya, tapi ia tidak bisa mengingkari apa yang ia percaya terlepas dari bagaimana hasilnya nanti.

Demikian juga dengan Jaya. Ia mengambil sikap politik dengan mantap bukan karena ia percaya bahwa ia akan baik-baik saja sesudahnya, tapi karena itu adalah satu-satunya langkah yang masuk akal baginya.

On a lighter note…….

  1. Angga Sasongko has done it again. More, please!
  2. Sejujurnya, saya tak begitu peduli pada aspek cinta-cintaan di film ini. Tapi tatapan Julie Estelle pada Jaya pada paruh kedua film ini membuat saya ingin mandi.
  3. Rio Dewanto mungkin papan iklan paling tampan yang pernah ada.
  4. Belum ada protes dari Organda kota Praha kalau tidak semua supir taksi kota tersebut bawa pistol?