Kenapa Saya Membaca

Kegemaran saya membaca tidak akan pernah jadi sesuatu yang negatif seandainya saya bukanlah seseorang bertitel penulis yang seharusnya membagi waktu antara membaca banyak aksara dan menuliskannya. Benar, bahwa seseorang tak akan bisa membuat tulisan bernas jika sebelumnya ia tak banyak-banyak membaca. Namun apa yang terjadi pada saya adalah kebalikannya: Saya terlalu banyak menghabiskan waktu membaca dan terlalu sedikit mengalokasikan waktu untuk menulis.

Saya tak ingat pasti kapan saya mulai membaca, tapi orang-orang terdekat mengatakan bahwa sejak umur 3 tahun saya sudah mulai asyik dengan buku. Orang tua saya mengatakan bahwa buku pertama yang saya baca adalah Alkitab - sesuatu yang tak mengherankan mengingat betapa konservatifnya saya dibesarkan. Bagian yang paling saya sukai adalah kitab-kitab yang memuat banyak cerita, terlebih di Perjanjian Lama. Sebaliknya, saya cenderung enggan membaca Mazmur dan Amsal yang kaya dengan peribahasa namun minim narasi dan drama.

Keluarga kami berlangganan tiga surat kabar waktu saya kecil. Dua koran pagi, Kompas dan Media Indonesia, dan satu koran sore, Suara Pembaruan. Setiap pagi sembari sarapan dan berbenah menjelang berangkat sekolah, saya kerap berebut surat kabar dengan bapak yang sering berlama-lama membaca koran di kamar mandi. 

Halaman pertama yang saya baca tentu saja lembaran olahraga dengan sepakbola sebagai berita utama. Rubrik berita internasional menjadi santapan berikutnya. Berita dalam negeri kurang begitu saya perhatikan kala itu dan, kecuali saya benar-benar kekurangan bacaan dan kebanyakan waktu luang, biasanya tak saya hiraukan.

Saya ingat beberapa kali mendapati Majalah Tempo tergeletak di meja sebelum akhirnya dibredel di tahun 90-an. Setelah pembredelan, saya sering membaca Gatra, yang diberitahukan kepada saya sebagai pengganti Tempo. Membaca Tempo, baik sebelum pembredelan dan sesudah terbit kembali, berpengaruh besar bagi kemampuan berbahasa Indonesia saya. Selain kosakata tak lazim yang sering mereka gunakan, gaya jurnalisme sastrawi yang tidak ortodoks dalam penulisan artikel membuat saya terkagum-kagum. 

Tentu saja saya tidak meminta disediakan surat kabar dan majalah waktu itu. Saya masih terlalu asyik dengan film kartun di televisi. Saya hanya membaca apa yang kebetulan juga dibaca oleh bapak.

Sebagai anak dari keluarga yang tak terlalu gemar beranjangsana, hari Minggu yang menyenangkan bagi saya adalah petang hari yang dihabiskan di Gramedia Matraman. Jika saya tak salah ingat, buku pertama yang khusus dibelikan untuk saya adalah Panduan Piala Dunia 1994. Saya lupa siapa penerbitnya, tapi saya ingat jelas rupa sampulnya yang berwarna dominan biru tua dan mereka dengan ilustrasi trofi Piala Dunia di tengah.

Saya memperlakukan Panduan Piala Dunia 1994 hampir seperti kitab suci. Saya baca berulang kali hingga lembar per lembarnya kumal. Selain pengantar akan turnamen di Amerika Serikat tersebut, buku tersebut juga memuat sejarah komprehensif setiap Piala Dunia sejak pertama kali digelar di Uruguay. Sampai sekarang saya hafal negara tuan rumah dan juara setiap Piala Dunia dari tahun 1930 berkat buku panduan tersebut. Dari buku yang sama saya tahu bahwa Hungaria 1954, The Magic Magyar, adalah tim terhebat tanpa mahkota juara dan bagaimana rezim militer Peronis membuat Piala Dunia 1978 di Argentina penuh noda.

Dari situ saya tahu bahwa saya punya ketertarikan pada sejarah, meskipun di saat yang sama, kekanakan saya membuat saya juga selalu tergoda pada komik dan kartun. Walau begitu, orang tua saya tidak mengizinkan saya untuk membaca komik - sesuatu yang menyiksa karena bagi anak SD di tahun 90-an, Dragon Ball dan Kungfu Boy adalah Holy Grail. 

Walhasil, saya curi-curi membaca Dragon Ball milik teman di kelas pada waktu jam pelajaran (dan beberapa kali tertangkap guru). Orang tua saya hanya mau membelikan komik satu setiap libur caturwulan -  sesuatu yang hampir kriminal karena Dragon Ball Z ada 42 jilid dan satu jilid setiap 4 bulan adalah kejahatan kemanusiaan.

Sempat ada perdamaian antara orang tua dan saya soal komik ketika Seri Tokoh Dunia muncul. Seri Tokoh Dunia adalah komik biopik yang menceritakan perjalanan hidup para tokoh historis dari mulai Julius Caesar hingga Walt Disney. Tapi gencatan senjata tersebut hanya bertahan sepanjang perjalanan dari rumah menuju toko buku karena peperangan kembali meletus setiba di Gramedia.

Bapak ingin agar komik Seri Tokoh Dunia pertama yang dibeli adalah Thomas Alva Edison, sesuai dengan latar belakangnya sebagai insinyur elektro. Mungkin ia ingin menanamkan kecintaan pada ilmu tersebut kepada saya. Sebagai pecinta sejarah peperangan Eropa sejak belia, saya ngotot ingin dibelikan Seri Tokoh Dunia edisi Napoleon Bonaparte. Tak terbayang dalam benak saya untuk menikmati komik soal bagaimana bola lampu ditemukan ketika alternatif lain adalah melihat kedigdayaan pasukan Napoleon dalam menaklukkan Eropa.

Tak berdaya, saya hanya bisa menangis sesenggukan ketika pada akhirnya Napoleon tak jadi dibawa pulang dan untuk saat itu harus puas dengan Edison. Komik soal Edison itu saya baca sampai habis hanya karena saya tak punya bacaan lain. Kali berikut ke toko buku, saya langsung mengambil edisi Napoleon dan menagih janji.

Pembatasan akses terhadap komik ini berpengaruh besar bagi proses saya membaca ke depannya karena saya tak pernah benar-benar larut dalam melahap komik. Orang tua saya ingin agar saya lebih banyak membaca buku-buku sains, terlebih eksakta, tapi saya tak pernah tertarik sedikit pun. 

Beruntung mereka masih mengizinkan saya untuk membaca surat kabar dan membelikan Buku Pintar-nya Iwan Gayo, baik yang Senior dan Junior, yang kemudian selalu saya baca setiap hari di waktu senggang. Hafalnya saya terhadap 90 % ibukota dari seluruh negara di dunia ini hingga sekarang adalah testimoni dari betapa ampuhnya Buku Pintar itu.

Karena ilmu eksakta di sekolah dasar dan menengah tak lebih dari sekadar sumber jemu tak bertepi, saya selalu melarikan diri pada buku-buku pelajaran ilmu sosial. Ketika buku paket bahan pelajaran dibagikan di hari pertama tahun ajaran baru, biasanya buku pelajaran sejarah dan geografi saya habiskan baca di hari yang sama. Saya tak menganggapnya sebagai buku pelajaran, lebih sebagai buku cerita lain yang saya baca.

Saya rasa ini yang membedakan pendekatan saya dalam membaca sejarah dibandingkan dengan kebanyakan orang. Ketika orang lain mungkin membaca sejarah sebagai sebuah beban, saya membacanya sebagai sebuah cerita yang menghanyutkan untuk diikuti. 

Kesenangan saya membaca sejarah ini tak begitu diapresiasi oleh orang-orang rumah. Berbekal paradigma usang, mereka menganggap bahwa piawai membaca sejarah dan ilmu sosial lain bukanlah sesuatu yang istimewa karena semua orang bisa melakukannya. Suatu hari sejarawan Anhar Gonggong tampil di acara televisi dan dengan cepat mereka mengatakan, “Kamu mau jadi kaya dia?”. Saya masih kesal sampai sekarang mengingatnya.

Ketika pada kelas 6 SD saya mengikuti dan menjuarai beberapa lomba ilmu sosial, saya hampir tak ada persiapan khusus. Ketika peserta lainnya digembleng untuk banyak berlatih soal dan membaca, saya hanya melakukan apa yang selama ini sudah saya lakukan sebagai hobi: melahap buku sejarah dan membaca koran.

Membaca buku menjadi pelarian saya pada masa SMA ketika saya menjadi pariah dan berada di tempat yang sebenarnya tak saya inginkan. Lagi-lagi saya tak tertarik sama sekali dengan apa yang dibicarakan oleh guru di ruang kelas dan minat saya pada semua pelajaran wajib (Fisika, Biologi, Kimia) besarnya kurang dari nol. 

Jika tak sedang bermain catur di meja paling belakang saat guru sedang mengajar, maka saya membaca buku yang saya bawa sendiri dari rumah. Tentu saja buku-buku yang saya bawa ini tak ada hubungannya dengan pelajaran sekolah. Dari koleksi buku nenek saya yang dosen filsafat itu, saya menemukan buku Soren Kierkegaard yang menjadi buku pertama yang saya baca dari jenis itu.

Yang menjadi masalah dari membaca filsafat dalam usia yang sedemikian muda adalah tak mungkin untuk berhenti di Kierkegaard saja. Tentu saja karena keluarga saya konservatif, saya tak menemukan Nietzche dan Camus dalam perpustakaan kecil di rumah nenek. Saya mendapatkan akses terhadap para filsuf-filsuf eksistensialis dari buku-buku fotokopian yang dijual diam-diam. Saya tak bisa mengatakan bahwa saya mengerti seluruhnya apa yang saya baca ketika itu, namun saya tahu bahwa apa saya baca sudah tepat ketika saya terprovokasi untuk menggali lebih dalam lagi.

Ketika seorang kawan semasa SMA meminjamkan Das Kapital-nya Marx (sebelum anda bertanya mengapa bisa ada anak SMA punya buku Marx, yakinlah bahwa SMA saya memang bukan SMA biasa) saya mengembalikannya dalam tempo waktu seminggu dan menukas bahwa saya sama sekali tak mengerti isinya yang melulu soal ekonomi itu.

Dalam kesunyian dan kesendirian, aksi eskapisme yang paling sering saya lakukan di SMA adalah kabur ke perpustakaan dan mengambil O Amuk Kapak-nya Sutardji Calzoum Bachrie dari rak buku. Saya terkagum pada cara Sutardji merekonstruksi kata (atau jika mengutip kredo puisinya, “membebaskan kata dari makna yang membelenggunya”).

Ketika anak SMA tenggelam dalam puisi dan sastra di era itu, maka komparasi terhadap Rangga-nya Ada Apa Dengan Cinta tak terelakkan. Fakta bahwa Nicholas Saputra adalah alumnus SMA saya pun tak membantu. Tentu saja tak ada yang mengganggap bahwa saya sekeren Rangga kalaitu, tapi saya pun secara sadar menolak untuk terseret dalam arus puisi-puisi romantis ala Chairil yang bangkit lagi akibat AADC. Tanpa mengurangi posisi terhormat Chairil dalam sejarah sastra Indonesia, secara karya saya tak pernah terlalu terkesan dengan Si Binatang Jalang.

Saya terlalu asyik dengan Sutardji dan buku puisi berikutnya yang saya beli dengan menyisihkan uang jajan malahan kumpulan Puisi Mbeling-nya Remy Sylado. Ke-ngehe-an Remy dalam memainkan kata dan logika ditambah ke-mbelingan-nya membekas lama dalam pikiran saya dan jejaknya bisa ditemukan dalam gaya bahasa dan tulisan saya hingga saat ini.

Tidak banyak anak yang tahu Wiji Thukul di SMA saya, tapi seorang kawan yang juga penggemar puisi meminjamkan buku Aku Ingin Jadi Peluru karya penyair pelo tersebut. Jika bait-bait syair Wiji Thukul digunakan para aktivis reformasi untuk menghantam tiran, maka saya menjadikan puisi-puisi Wiji sebagai agitasi pribadi. Saya menuliskan “…maka hanya ada satu kata: lawan!” di hampir semua halaman pertama buku pelajaran dan buku tulis untuk menjaga api semangat tetap hidup.

Membaca menyelamatkan saya dari depresi waktu SMA. Jasad saya berada di sekolah, tapi pikiran saya melayang ke mana-mana. Kadang ke Spanyol pada era Perang Sipil. Kadang ke Kramat masa pra-kemerdekaan. Kadang ke London. Kadang ke Tokyo. Angan dan imajinasi yang tetap terbakar setiap hari membuat saya tak punya waktu untuk mempertimbangkan bunuh diri.

Ketika sosok Soe Hok Gie difilmkan (yang lagi-lagi diperankan oleh Nicholas Saputra), saya tak ketinggalan membeli Catatan Seorang Demonstran yang waktu itu dicetak ulang dan ramai dibicarakan orang. Saya tak begitu terkesan dengan kumpulan catatan harian itu (menurut saya, skripsi Gie yang kemudian diterbitkan, Orang-orang Kiri di Persimpangan Jalan, lebih menohok), tapi salah satu kalimat di entri mula-mula Catatan Seorang Demonstran kembali menjadi pelecut semangat: “…….guru bukan dewa dan murid bukan kerbau”.

Perjalanan saya membaca buku adalah perjalanan mendobrak batas dan ketidakmungkinan. Saya membaca bukan karena saya harus, tapi karena saya ingin. Maka saya heran setengah mati karena bertemu dengan orang-orang yang mempertanyakan hobi membaca. Di bangku kuliah misalnya, seseorang pernah menghampiri saya yang sedang asyik membaca dan berkomentar, “Ngapain sih baca buku? Memang besok ujian?”

Kedunguan seperti itu tak jarang saya temui, termasuk orang-orang yang terlalu bangga pada ketololannya dan menganggap terlalu banyak membaca adalah sesuatu yang buruk. Orang-orang seperti ini banyak saya dijumpai di awal perjalanan kepenulisan dan kepenyiaran saya; mereka yang gagal untuk mengetahui bahwa membaca bisa membawa anda ke tempat yang jauh. Jika anda bersilang langkah dengan orang-orang yang mencibir aktivitas membaca, lebih baik dijauhi saja. Tak ada gunanya dekat-dekat dengan hama seperti itu.

Asupan bacaan saya dewasa ini biasanya 2 buku dibaca secara bergantian dalam kurun waktu yang sama. Satu fiksi, satu lagi non-fiksi. Saya merasa ini adalah metode terbaik karena pernah saya hanya membaca non-fiksi saja, lalu saya merasa kreativitas pelan-pelan tergerus. Sebaliknya saya mencoba untuk hanya membaca fiksi saja, lalu saya merasa kehilangan cengkeraman pada realita. Ketika saya sedang membaca buku Antony Beevor soal Stalingrad, misalnya, di saat yang bersamaan saya pasti membaca Murakami secara bergantian. Alternasi ini juga bagus untuk mengurangi kepenatan.

Saya tak menafikan bahwa internet mengubah perilaku dan kebiasaan saya dalam membaca. Jika beberapa orang mengeluh karena media sosial menyita waktu mereka dan mengurangi alokasi waktu membaca, internet justru mereduksi waktu saya membaca karena tersita oleh aktivitas membaca lainnya.

Saya baru menyadari bahwa saya keranjingan informasi dan data. Konsumsi saya terhadap berita dari media massa sudah jauh menurun, tapi saya selalu merasa tertinggal jika tidak mendapatkan gambaran aktual tentang dunia pada hari itu. Tidak hanya Indonesia, tapi dunia. Ini mungkin tidak sehat, tapi saya merasa, selain di dalam negeri, saya perlu tahu apa yang terjadi di Amerika, Asia, dan Eropa setiap hari, paling tidak secara umum. Saya percaya bahwa dalam dunia yang nir batas seperti sekarang, semuanya terinterkoneksi. Saya percaya pentingnya membaca tanda zaman.

Kecemasan saya (yang mungkin tidak beralasan) tertinggal tanda zaman ini yang membuat alokasi waktu saya dalam membaca buku dan literatur setiap hari harus bersaing dengan membaca berita.

Liberalisasi akses internet tidak hanya memberikan sumber bacaan tak terbatas bagi semua orang, namun di saat yang bersamaan menjadi pisau bermata ganda dengan menyediakan platform untuk beropini dan berkomentar. Celakanya, sama seperti penulis yang akan miskin mutu jika miskin bacaan, komentator (baik yang amatir dan profesional) akan sulit menghasilkan komentar berkualitas jika tidak diiringi bacaan yang berkualitas pula.

Kawan saya, Zen RS, dengan apik menggambarkan problem ini. “Yang bahaya dari menurunnya minat membaca adalah meningkatnya untuk berkomentar”, ujarnya. 

Saya tak mengatakan bahwa orang yang tak banyak membaca tak boleh berkomentar, tapi di era seperti sekarang ini di mana saluran komunikasi dan amplifikasi pesan bisa dimiliki secara individu, celaka benar jika riuh rendah arus opini dan informasi didominasi oleh kebisingan dangkal.

Cukup beruntung rasanya saya bisa bepergian ke belahan dunia lain untuk menengok tempat dan latar sejarah yang selama ini hanya saya temui dalam bacaan. Ketika pada akhirnya saya berada di depan Tower of London yang dibangun di abad ke-11, saya merasa seperti memenuhi tanggung jawab moral saya untuk melihat langsung perwujudan dari buku yang saya baca ketika dulu William dari Normandy menaklukkan Britania tahun 1066. Demikian pula rasa bergidik yang terasa ketika saya menjejakkan kaki di La Rambla, Barcelona dan melakukan napak tilas tentara Republik Spanyol ketika Perang Sipil dan melihat langsung hotel tempat George Orwell menginap.

Namun tanggung jawab moral tersebut tidak hanya saya rasakan dalam bentuk mengunjungi sudut lain di penjuru lain. Yang lebih penting lagi adalah menghidupi segala bacaan yang saya yakini isi dan pesannya.

Saya rasa ini adalah alasan utama mengapa saya menjadi saya. Saya merasa bertanggung jawab terhadap apa yang sudah saya baca dan yakini. Akan menjadi sebuah kehinaan luar biasa jika saya membaca dan meyakini sesuatu, tapi gagal untuk menghidupinya. Saya akan malu setengah mati jika ternyata apa yang sudah saya baca selama ini ternyata gagal untuk mempengaruhi hidup saya. Saya tak mungkin ingkar.

Seseorang yang tak bijak-bijak amat pernah mengatakan hanya ada 2 cara untuk menambah wawasan dan pengetahuan: membaca dan bepergian. 

Saya sepakat.

Tapi saya pun sadar bahwa bepergian perlu usaha lebih. Bepergian butuh waktu, tenaga, dan dana. Membaca lebih mudah dan lebih murah.

Inilah mengapa saya akan terus membaca dan membaca seperti orang gila.

Terus membaca sampai huruf-huruf itu tak lagi bisa terbaca.